Padang, Sumatera Barat — Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Barat hari ini secara resmi melaporkan jajaran pejabat provinsi, legislatif, dan aparat penegak hukum di Sumbar ke Komnas HAM perwakilan Sumbar terkait aktivitas pertambangan ilegal (PETI) yang dinilai semakin tak terkendali.
Laporan disampaikan melalui PDRI pada Selasa (7/10/2025), dengan tuduhan bahwa kegagalan negara melindungi hak atas lingkungan hidup yang sehat telah menjurus kepada pelanggaran HAM. Walhi menyoroti bahwa meskipun Presiden telah memerintahkan Kapolri dan Panglima TNI untuk menindak PETI, dalam 50 hari pasca-pidato, aktivitas ilegal tetap intensif di berbagai wilayah Sumbar.
Menurut data Walhi, di Kabupaten Sijunjung terdapat 116 titik PETI yang tersebar di kawasan hutan lindung (27 titik), hutan produksi, dan area penggunaan lain. Sementara di Kabupaten Solok, ditemukan 31 titik PETI yang mencakup hutan lindung dan area penggunaan lain.
Laporan ini memperlihatkan bahwa rapat Forkopimda (10 September 2025) dan rapat khusus gubernur-bupati (19 September 2025) belum diimbangi tindakan nyata di lapangan — dugaan bahwa pejabat hanya “berkutik” di atas kertas tanpa eksekusi.
Kapolres Solok sendiri menyatakan bahwa petugas sering terlambat sampai lokasi (6–8 jam) sehingga pelaku sudah kabur, menyisakan lokasi kosong yang kemudian dimusnahkan. Ini menunjukkan lemahnya sistem intelijen, pengawasan di lapangan, dan kurangnya sinergi antar-instansi.
Walhi juga menuntut agar rantai bisnis PETI — mulai peredaran alat berat, BBM, hingga pasar emas ilegal — dibongkar hingga ke akar. Mereka meminta agar pejabat daerah, DPRD, serta aparat penegak hukum diperiksa.
Kritik terhadap penegakan hukum di Sumbar bukan tanpa dasar. Sebagai perbandingan, di daerah lain, misalnya Kalimantan atau Aceh, penindakan terhadap PETI telah berani menjebloskan aktor penggerak (pemilik modal) bukan hanya operator lapangan. (Lihat laporan-laporan WALHI nasional dan KLHK)
Komnas HAM Sumbar harus segera memanggil dan memeriksa semua pihak yang dilaporkan, termasuk Gubernur, Bupati/Walikota, Kapolda, Kapolres, dan DPRD.
Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota wajib memperkuat pengawasan, transparansi data alat pertambangan, serta mekanisme pelaporan masyarakat secara terbuka.
Penegak hukum harus lebih proaktif, tak hanya saat sorotan publik besar, tetapi secara kontinu melakukan patroli, intelijen lingkungan, dan penyidikan terhadap jaringan PETI.
Kasus ini membuka sekaligus pertanyaan mendasar: apakah institusi pemerintah dan penegak hukum di Sumbar hanya “tampil” di atas kertas? Jika tidak segera ada tindakan tegas, publik punya hak mempertanyakan legitimasi komitmen mereka terhadap perlindungan lingkungan dan hak warga.