KABUPATEN PASAMAN BARAT — Aktivitas pertambangan emas tanpa izin (PETI) di wilayah Kabupaten Pasaman Barat, Provinsi Sumatera Barat, semakin mengkhawatirkan. Titik‐titik operasi yang merambah hutan lindung dan daerah aliran sungai (DAS) semakin banyak ditemukan.
Menurut pantauan terbaru, sedikitnya enam kecamatan di Pasaman Barat — yakni Kecamatan Pasaman, Talamau, Gunung Tuleh, Sungai Aur, Koto Balingka dan Ranah Batahan — telah menjadi lokasi aktivitas tambang emas ilegal. Alat berat jenis ekskavator digunakan untuk mengeruk material pada aliran sungai dan kawasan hutan lindung.
Kerusakan lingkungan terjadi nyata. Sungai besar seperti Sungai Batang Pasaman dan Sungai Batang Batahan dilaporkan telah tercemar dan sempadan sungai tergerus. Petani dan pembudidaya ikan lokal mengeluh kehilangan mata pencaharian karena lahan pertanian tergerus dan aliran air sungai tercemar.
Dari sisi penegakan hukum dan tata kelola, hambatan terlihat jelas. Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Barat, Gatot Tri Suryanta, menyatakan bahwa jajarannya bersama pemangku kepentingan sedang menjalankan instruksi gubernur terkait pencegahan, penertiban dan penegakan hukum aktivitas PETI. Namun, pengamat lingkungan dan lembaga masyarakat menilai bahwa langkah Pemda Kabupaten Pasaman Barat kurang memadai dan belum menunjukkan tindakan konkret.
Dampak ekonomi negara pun signifikan. Aktivitas tambang ilegal mencuri potensi pajak dan royalti yang seharusnya masuk ke kas negara — kerugian diperkirakan mencapai ratusan miliar rupiah.
Secara lokal di Sumatera Barat, kejadian ini berisiko merusak fondasi ketahanan pangan. Aktivitas tambang di lahan pertanian atau sempadan sungai mengancam produksi pangan lokal dan kehidupan petani di daerah ini.
Maraknya tambang emas ilegal di Pasaman Barat bukan hanya persoalan lokal. Ini soal bagaimana tata kelola sumber daya dan lingkungan di Sumatera Barat diuji. Ketika pemerintah daerah dan aparat penegak hukum belum sanggup menuntaskan persoalan secara efektif, maka kerusakan lingkungan dan kerugian ekonomi akan terus membayangi masyarakat — terutama petani, nelayan, dan generasi mendatang.





























