Padang – Klub profesional asal Sumatera Barat, Semen Padang FC, kini menghadapi realitas pahit di musim 2025/2026. Dari 11 pertandingan yang telah dijalani di BRI Super League, tim berjuluk “Kabau Sirah” hanya mengumpulkan 4 poin—hasil dari 1 kemenangan, 1 imbang dan 9 kekalahan.
Kondisi makin kritis setelah Semen Padang mencatat delapan kekalahan beruntun, termasuk lima di antaranya terjadi saat bermain di kandang sendiri. Manajemen tim pun memutuskan untuk memasukkan pendampingan psikologis sebagai langkah penyelamatan.
Pelatih Dejan Antonić mengakui bahwa penyebab krisis tak hanya teknis taktik, melainkan juga mental pemain yang runtuh ketika menghadapi tekanan pertandingan. “Kesalahan elementer seperti salah oper dan miskomunikasi masih terus terjadi,” ujarnya.
Dua laga terakhir putaran pertama menghadirkan “pertandingan hidup-mati” bagi Semen Padang. Mereka akan menghadapi Persijap Jepara dan Persik Kediri—tim yang sama-sama terperosok di zona degradasi. Rebutan poin penuh bukan hanya demi selamat musim ini, tetapi untuk kelangsungan tim dari Ranah Minang.
Situasi ini sebenarnya menjadi peringatan bagi sepak bola di Sumatera Barat bahwa status klub dengan sejarah dan basis lokal kuat pun tidak menjamin jaminan aman tanpa manajemen yang matang dan konsistensi prestasi.
Krisis Semen Padang FC bukan sekadar angka di klasemen. Ini mencerminkan tantangan nyata bagaimana tim regional berhadapan dengan tekanan kompetisi nasional, dan bagaimana komunitas sepak bola Sumbar harus bersiap bila ingin menjaga kebanggaan daerah tetap hidup di panggung tertinggi.































