PADANG — Kekalahan kembali menimpa Semen Padang FC. Bermain di kandang sendiri, Stadion H Agus Salim, Senin (20/10/2025), Kabau Sirah menyerah 0-1 dari Bhayangkara Presisi Lampung FC.
Gol tunggal Sani Rizki di menit ke-39 bukan hanya menentukan hasil akhir, tapi juga memperlihatkan krisis permainan yang makin dalam di tubuh tim Sumbar ini.
Permainan yang Kaku, Bukan Sekadar Sial
Semen Padang tampil pasif nyaris sepanjang pertandingan. Mereka memilih bertahan rapat, membiarkan Bhayangkara menguasai bola hingga 65% possession. Namun, taktik menunggu tanpa serangan balik yang tajam justru membuat tekanan semakin berat di lini belakang.
Kesalahan koordinasi antara bek dan kiper di babak pertama pun jadi bencana. Gol Sani Rizki berawal dari umpan silang yang gagal diantisipasi — bukan karena lawan terlalu hebat, tapi karena fokus sendiri yang hilang.
“Anak-anak kurang tenang di momen penting,” kata asisten pelatih Yanuar selepas pertandingan. “Kami harus evaluasi, terutama dalam transisi bertahan dan menyerang.”
Kutipan itu menggambarkan satu hal penting: Semen Padang bukan sekadar kalah di papan skor, tapi kehilangan keberanian untuk mengontrol permainan sendiri.
Krisis Mental Lebih Dalam daripada Taktik
Dengan hasil ini, Semen Padang sudah menelan lima kekalahan beruntun. Posisi mereka kini berada di dasar klasemen sementara BRI Super League dengan empat poin dari sembilan laga.
Sementara Bhayangkara Presisi Lampung naik ke papan tengah dengan 11 poin.
Secara statistik, Semen Padang hanya mencatat dua tembakan tepat sasaran sepanjang laga. Itu menandakan bukan cuma serangan yang tumpul, tapi juga semangat yang redup.
Bagi publik Sumatera Barat, Semen Padang bukan sekadar klub bola. Ia simbol identitas daerah — tempat ribuan orang bersorak, berharap, dan berbangga. Karena itu, setiap kekalahan bukan sekadar angka di klasemen, melainkan luka di kebanggaan lokal.
Harapan Tak Boleh Padam
Kekalahan ini seharusnya jadi titik balik, bukan akhir cerita. Evaluasi taktik mungkin penting, tapi lebih penting lagi: mengembalikan gairah bermain layaknya Kabau Sirah sejati — berani menyerang, keras bekerja, dan pantang menyerah.
Sebab sepak bola di Sumatera Barat tidak hidup dari kemenangan, tapi dari harapan. Dan harapan itu akan mati jika mereka berhenti berjuang di lapangan.































