Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, menyebut wacana agar program Makan Bergizi Gratis (MBG) dikelola langsung oleh sekolah melalui konsep school kitchen. Ide ini dimaksudkan agar distribusi makanan lebih cepat dan mandiri. Namun, gagasan ini memunculkan kekhawatiran dari guru dan pengamat soal kapasitas sekolah serta alokasi anggaran pendidikan.
Konteks dan Data Awal
Sejak awal 2025, MBG menjadi program strategis pemerintah untuk menekan masalah gizi pada anak sekolah.
Dalam Rancangan APBN 2026, pemerintah mengalokasikan sekitar Rp 335 triliun untuk MBG, yang sebagian dikategorikan dalam anggaran pendidikan.
Namun, Menteri Keuangan kemudian meluruskan bahwa dari angka itu sekitar Rp 223,6 triliun bersumber dari dana pendidikan — menurunkan porsi menjadi sekitar 29 %.
Pernyataan Resmi & Wacana School Kitchen
Menurut Abdul Mu’ti, pengelolaan MBG melalui school kitchen dapat menjadikan sekolah sebagai penyedia langsung makanan, tanpa tergantung penyedia eksternal.
Dia juga menyinggung kemungkinan sekolah jemput bola, memproduksi makanan sendiri demi efisiensi dan kendali kualitas.
Kritik & Potensi Beban Sekolah
Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mengkritik rencana ini sebagai lempar tanggung jawab dari pusat ke sekolah tanpa mekanisme pengawasan jelas.
Menurut JPPI, sekolah dan guru bisa terbebani tugas baru—memasak, menyajikan, bertanggung jawab atas keamanan pangan—yang selama ini bukan fungsi mereka.
Surat terbuka dari guru SMP di Rambah juga menyuarakan frustrasi: tugas membagikan makanan hingga mencicipi menjadi kewajiban tanpa kompensasi.
Selain itu, banyak siswa dan orang tua melaporkan makanan MBG belum memenuhi standar gizi: porsi kecil, variasi minim, atau bahan berkualitas rendah.
Risiko Anggaran & Prioritas Pendidikan
Beberapa pengamat memperingatkan bahwa penggunaan dana pendidikan besar-besaran untuk MBG dapat mengurangi alokasi untuk hal-hal mendasar seperti tunjangan guru, pelatihan, dan sarana sekolah.
Koordinator JPPI, Ubaid Matraji, menyebut bahwa sebagian besar MBG masih sangat tergantung anggaran pendidikan (sekitar 67 % dari total) dan menilai ini merusak prioritas sektor pendidikan.
Mahasiswa juga menyuarakan keberatan. Mereka menilai kebijakan ini tidak menyentuh akar masalah pendidikan dan justru membebani generasi muda dalam bentuk kenaikan biaya pendidikan.
Kesenjangan Kapasitas Daerah & Infrastruktur
Banyak sekolah, terutama di daerah terpencil Sumatera Barat dan wilayah luar Jawa, kekurangan infrastruktur dapur, bahan baku, serta tenaga ahli gizi.
Kondisi ini memicu pertanyaan: apakah sekolah bisa menjamin keamanan makanan jika pengelolaan MBG dialihkan ke mereka?
JPPI menyoroti lemahnya peran pemerintah daerah dalam pengawasan kualitas makanan dan distribusi.
Ide mengalihkan pengelolaan MBG ke sekolah lewat school kitchen memang menjanjikan efisiensi dan kontrol lokal. Namun tanpa penguatan kapasitas sekolah, mekanisme pengawasan, dan alokasi sumber daya yang jelas, wacana ini berpotensi menambah beban pada guru dan melemahkan fokus utama pendidikan—pembelajaran dan kualitas guru.
Perhatian publik, terutama di Sumatera Barat, harus ditujukan agar kebijakan ini tidak sekadar gagasan populer, namun benar-benar berkeadilan dan efektif untuk anak-anak di daerah kita.