Oleh : Ar Rafi Saputra Irwan
Nasi Kapau adalah varian khas nasi campur Minangkabau yang berasal dari Nagari Kapau (Tilatang Kamang, Kabupaten Agam), dekat Bukittinggi. Di kota Bukittinggi, terdapat sebuah pusat kuliner legendaris yang menjadi “surganya” nasi Kapau: kawasan yang populer disebut Los Lambuang. Artikel ini menjelaskan proses historis lahirnya nasi Kapau, peran sosial-ekonomi di baliknya, serta etimologi dan perkembangan Los Lambuang sebagai sentra kuliner
Nasi Kapau lahir dari tradisi kuliner masyarakat Nagari Kapau. Banyak sumber sejarah kuliner menyebutkan bahwa bentuk modern nasi Kapau berkembang sejak masa kolonial (abad ke-19 — awal abad ke-20), ketika istri-istri atau perempuan dari kampung Kapau mulai menjual makanan lengkap (nasi + berbagai lauk khas) di pasar kota atau tempat perantauan untuk menopang ekonomi rumah tangga karena banyak laki-laki merantau. Pola penyajian (panci/pengaturan lauk bertingkat dan pelayan yang mengambilkan lauk memakai sendok panjang sambil berdiri) menjadi ciri khasnya.
warung nasi Kapau bukan sekadar variasi rasa ia merupakan produk sosial-ekonomi (kreativitas perempuan perantau dan budaya dagang Minang) yang berkembang menjadi ikon kuliner lokal.
Nama Los Lambuang banyak dipakai oleh warga dan media lokal untuk merujuk pada lorong/area kuliner di kawasan Pasar Ateh / Pasar Lereng (sekitar Jam Gadang, Bukittinggi) yang dipenuhi lapak-lapak nasi Kapau. Secara etimologis:
Los dalam bahasa Minangkabau/Minang umumnya berarti lorong, los, atau rumah panjang/pasar kecil.
Lambuang berasal dari kata lambung (perut).
Sehingga ungkapan Los Lambuang diartikan secara harfiah sebagai “lorong (tempat) untuk mengisi lambung” yaitu kawasan untuk makan/menjejaki perut. Penggunaan istilah ini menekankan fungsi tempat tersebut sebagai pusat pemenuhan makanan tradisional.
Los Lambuang berkembang terutama sejak akhir abad ke-20 (disebut banyak pedagang generasi kedua/ketiga), ketika pedagang nasi Kapau dari Kapau membuka lapak di pasar-pasar Bukittinggi. Kawasan ini kemudian menjadi destinasi wisata kuliner dan dikenal karena aturan tak tertulis (mis. penggunaan nama Kapau untuk pedagang originari Kapau, warna lapak biru, nama Uni/Uni Lis sebagai nama lapak turun-temurun). Los Lambuang mendapat liputan luas sebagai lokasi yang mempertahankan cara penyajian tradisional dan cita rasa autentik.
Sejarah nasi Kapau berkaitan erat dengan peran perempuan Minang sebagai pelaku ekonomi (menjual makanan), sekaligus mekanisme pewarisan pengetahuan kuliner. Penelitian pariwisata kuliner menunjukkan nasi Kapau dan los seperti Los Lambuang kini juga memiliki nilai ekonomi pariwisata (gastronomic tourism) menarik wisatawan lokal maupun luar negeri, sekaligus menjadi sumber pendapatan lokal. Studi-studi akademik dan tugas akhir dari universitas lokal mengkaji Los Lambuang sebagai fenomena sosial-ekonomi dan objek pariwisata kuliner.
Los Lambuang bukan sekadar deretan warung di pasar Bukittinggi. Ia adalah jejak sejarah perempuan Minangkabau yang menanak nasi sekaligus menanak harapan, menjaga warisan cita rasa leluhur dalam wujud yang hidup.
Dari setiap sendok gulai nangka hingga sambal lado hijau yang pedasnya khas, tersimpan kisah tentang kerja keras, migrasi, dan identitas.
Bagi orang Minang, makan di Los Lambuang bukan hanya soal kenyang tapi juga ritual pulang ke akar budaya. Dalam hiruk pikuk wisata dan modernisasi kota, Los Lambuang berdiri sebagai pengingat: bahwa budaya yang terus dirawat di dapur-dapur kecil, bisa menjadi kebanggaan besar bagi suatu bangsa.
Referensi :
“Nasi Kapau as Gastronomic Tourism Attraction in West Sumatra” — ResearchGate / prosiding dan referensi akademik terkait (mengulas aspek pariwisata kuliner dan studi kasus warung nasi Kapau di Bukittinggi).
Kajian/jurnal lokal tentang sejarah dan eksistensi Los Lambuang: “The Existence of Los Lambuang as a Culinary Tourist…” (e-journal Universitas / PDF)
Laporan fitur/kolom dari Kompas (Pesona Indonesia): “Memenuhi Tuntutan Lambung di Los Lambuang” (liputan sejarah lokal dan arti istilah).
Artikel CNN Indonesia: “Menyantap Nasi Kapau di Los Lambuang” (feature pariwisata kuliner, 2024).






























