Padang — Desakan agar Patrick Kluivert mundur dari kursi pelatih tim nasional Indonesia kini bukan hanya datang dari Jakarta. Di Sumatera Barat, wacana itu ramai diperbincangkan di warung kopi, lapangan sore, hingga kolom komentar media sosial.
Kegagalan timnas di dua laga terakhir kualifikasi — kalah 0-1 dari Irak dan 2-3 dari Arab Saudi — memicu pertanyaan besar: untuk apa mendatangkan pelatih mahal jika performa justru menurun?
Publik menilai, performa tim yang cenderung stagnan memperlihatkan lemahnya arah pembinaan jangka panjang, bukan sekadar salah strategi di lapangan.
Nama Bert van Marwijk, pelatih Belanda yang membawa negaranya ke final Piala Dunia 2010, kini disebut-sebut sebagai kandidat kuat pengganti Kluivert.
Menurut laporan media olahraga nasional, PSSI mulai mempertimbangkan opsi tersebut agar tidak hanya menggantungkan harapan pada Shin Tae-yong.
Shin sendiri telah menolak tawaran untuk kembali ke Indonesia. Dalam pernyataan kepada media Korea Selatan, ia menegaskan ingin fokus berkarier di Eropa setelah kontraknya bersama Ulsan HD berakhir.
Dengan demikian, rumor “kembalinya STY” resmi tertutup.
Sementara itu, Kluivert masih bertahan dengan sikap keras kepala. Dalam wawancara dengan Tempo, ia mengaku belum berencana mundur meski diserang kritik dari berbagai arah. (Tempo.co, 2025)
Di Sumatera Barat, sejumlah pengamat dan suporter menilai masalah timnas tidak bisa terus disederhanakan ke sosok pelatih. “Kita sibuk gonta-ganti kepala, tapi akar rumputnya tetap kurus,” tulis salah satu komentar warganet asal Bukittinggi yang viral di media sosial.
Sumbar dikenal sebagai salah satu provinsi dengan tradisi sepakbola kuat di level lokal. Klub seperti PSP Padang dan Semen Padang FC pernah menjadi tumpuan bakat nasional. Namun, pembinaan usia muda kini makin tersisih karena keterbatasan dana dan perhatian.
Kondisi ini membuat masyarakat Sumbar memandang krisis di timnas sebagai refleksi dari lemahnya ekosistem sepakbola nasional.
“Pelatih bisa diganti, tapi sistem tak bisa terus dibiarkan,” ujar seorang pelatih akademi di Padang Panjang yang menolak disebut namanya. “Kalau pembinaan daerah tak diperkuat, siapa pun pelatihnya akan selalu disalahkan.”
Isu ini juga menyinggung rasa identitas: bahwa sepakbola Indonesia bukan milik Jakarta semata. Dari Sawahlunto hingga Painan, publik Sumbar merasa bagian dari “rasa kecewa nasional” atas performa timnas — tapi juga bagian dari harapan untuk membangun ulang dari akar.
Desakan mundur Patrick Kluivert hanyalah gejala permukaan dari masalah yang lebih dalam: tata kelola sepakbola yang masih rapuh.
Dari Padang hingga Payakumbuh, publik Sumbar mengirim pesan sederhana — pelatih bisa diganti, tapi karakter bangsa di lapangan hijau harus dibangun ulang, bukan disewa musiman.