Padang – PT Berkah Rimba Nusantara (PT BRN) melalui kuasa hukumnya menyatakan bahwa perusahaan tidak melakukan pembalakan hutan liar di Pulau Sipora, Kecamatan Sipora Utara, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Pernyataan ini disampaikan dalam jumpa pers di Padang pada hari Rabu (22/10).
Menurut kuasa hukum, PT BRN menjalankan kegiatan di lahan yang memiliki status alas hak atau hak atas tanah (PHAT) yang diklaim berada di luar kawasan hutan negara—yakni Areal Penggunaan Lain (APL) seluas sekitar 900 hektare, dan diperkuat dengan verifikasi dari instansi kehutanan Sumatera Barat bahwa sekitar 736,27 hektare memang berada di luar kawasan hutan.
Sebaliknya, aparat penegak hukum melalui Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) dan tim gabungan menyebut bahwa kasus ini terkait pembalakan liar terorganisir sejak 2022 hingga 2025, dengan penyitaan 4.610,16 meter kubik kayu bulat dan dugaan kerugian negara hingga Rp239–240 miliar.
Pada 7 Mei 2024, PT BRN menandatangani kerjasama dengan pemegang alas hak bernama Martinus untuk pengelolaan kayu di lahan PHAT seluas ±900 ha di Desa Betumonga, Sipora Utara.
Dokumen-dokumen yang disebut sebagai dasar legalitas antara lain: SK Desa Betumonga No. 472/272/SK/DS-BTM/IX-2022 dan klarifikasi dari BPN Mentawai No. HP.02.02/42-13.09/I/2023.
Namun, berdasarkan citra satelit dan verifikasi lapangan, aparat menyebut luas terdampak sekitar 597,35 ha, termasuk 7,79 ha jalan akses di kawasan hutan produksi dan ±589,56 ha di luar persetujuan PHAT.
Kasus ini menimbulkan pertanyaan tentang pengawasan kawasan hutan di Sumatera Barat. Bila ternyata lokasi berada di kawasan hutan, maka perusahaan bisa dijerat pidana kehutanan hingga 15 tahun penjara dan denda maksimal Rp15 miliar. Sementara pihak perusahaan menyatakan bahwa pelibatan masyarakat adat sebagai pemegang hak atas tanah dan pemanfaatan legal di lahan APL menjadi landasan operasi. Namun dari perspektif lingkungan dan masyarakat adat di Mentawai, kerusakan hutan berarti ancaman terhadap tatanan sosial dan alam yang tak mudah diperbaiki.
Kasus PT BRN di Mentawai ini penting bagi Sumatera Barat — bukan hanya terkait tata kelola hutan dan ekonomi kayu, tetapi juga kepercayaan masyarakat terhadap perlindungan hak adat dan lingkungan. Penanganan yang transparan dan adil akan menjadi ujian bagi komitmen daerah terhadap pembangunan berkelanjutan dan penghormatan terhadap masyarakat lokal.































