Oleh : Alung
I. Politik yang Tak Pernah Jauh dari Rumah
Di Sumatera Barat, politik seolah tak pernah benar-benar tumbuh dari rakyat. Ia tumbuh dari rumah.
Dari ruang tamu ke ruang rapat, dari meja makan ke meja partai — sirkulasinya rapat dan hangat, karena semua masih satu keluarga.
Nama pertama: Khairunnas, Ketua DPD Partai Golkar Sumatera Barat sekaligus Bupati Solok Selatan.
Bukan hanya ia yang berkibar di partai kuning itu — tiga anaknya kini juga menempati posisi strategis.
Ada yang duduk di DPR RI, ada di DPRD, ada pula yang menjadi Ketua DPD Golkar di kabupaten.
Semuanya sah, semuanya “hasil demokrasi internal”.
Tapi publik tahu, aroma “politik keluarga” di baliknya terlalu kuat untuk diabaikan.
Belum reda sorotan ke Golkar, muncul kabar baru: anak Gubernur Sumbar, Mahyeldi, kini menjabat sebagai Plt Ketua DPW PSI Sumatera Barat.
Ya, PSI — partai yang rajin menertawakan politik dinasti dan mengusung slogan “politik baru, tanpa warisan lama”.
Kali ini, partai yang katanya muda itu malah justru ikut dalam pesta lama: pesta silsilah.
Dan publik Sumbar, yang sudah kenyang menonton politik berbasis trah, hanya tersenyum getir:
“Ternyata demokrasi kita memang demokrasi keluarga.”
II. Demokrasi Keluarga dan Kaderisasi yang Macet
Kalau politik adalah panggung, maka Sumatera Barat kini menampilkan dua lakon berbeda tapi serupa:
di satu sisi ada Golkar yang menurunkan jabatan kepada anak-anaknya;
di sisi lain ada PKS yang kehilangan anak ke partai lain.
Keduanya menunjukkan satu hal yang sama — kaderisasi yang macet.
Golkar, sebagai partai tua, sudah lama hidup dengan logika loyalitas, bukan kompetensi.
Kaderisasi partai bukan lagi hasil pendidikan politik, tapi kelanjutan warisan keluarga.
Mereka menyebutnya regenerasi; publik menyebutnya dinasti.
Namun yang menarik, justru datang dari partai yang selama ini dikenal “tertib moral dan ideologi”: PKS.
III. Dari PKS ke PSI: Luka Sunyi di Rumah Sendiri
Ketika kabar penunjukan Taufiqur Rahman, putra Gubernur Mahyeldi, sebagai Plt Ketua DPW PSI Sumbar muncul, jagat politik Sumbar sedikit berguncang.
Bukan karena langkah itu melanggar hukum, tapi karena ia melanggar nalar simbolik politik:
anak seorang gubernur PKS kini memimpin partai yang berdiri di sisi berseberangan.
Lalu Mahyeldi menanggapinya ringan:
“Itu urusan dia.”
Kalimat pendek ini mungkin terdengar sederhana. Tapi di balik ketenangannya, ada nada kecewa yang disembunyikan rapi.
Nada seorang ayah yang kehilangan “anak ideologisnya”.
Nada seorang pemimpin partai yang tahu: sistem kaderisasi yang ia bangun tak lagi menarik generasi baru — bahkan keluarganya sendiri.
Pernyataan itu seolah ingin menegaskan bahwa pilihan politik adalah hak demokratis individu.
Tapi dalam konteks PKS, ucapan itu juga bisa dibaca sebagai sinyal kelemahan internal.
PKS yang dikenal solid dan terstruktur, ternyata mulai kehilangan daya lekat di kalangan muda, bahkan di lingkar terdekat para tokohnya.
IV. Ketika Moral Bertemu Realitas
PKS selama ini bangga dengan sistem kaderisasi yang disiplin.
Setiap jenjang ditempuh dengan pengajian, pembinaan, dan loyalitas ideologis.
Namun, sistem yang terlalu kaku justru kerap menimbulkan kebosanan.
Generasi muda ingin ruang ekspresi, bukan sekadar ruang pengajian politik.
Dalam konteks itu, langkah Taufiq ke PSI bisa dibaca sebagai “pelarian” — bukan karena ingin berkhianat, tapi karena ingin bernapas.
Masalahnya, PSI yang semestinya memberi udara segar justru menimbulkan ironi baru.
Partai yang menjual diri sebagai antitesis dinasti malah dengan senang hati menampung anak gubernur.
Alih-alih menolak praktik lama, PSI justru menirunya dengan bungkus baru:
“Dinasti muda, progresif, dan ramah media sosial.”
V. PSI, PKS, dan Golkar: Tiga Jalan, Satu Pola
Tiga partai, tiga warna, tapi satu pola:
partai tak lagi mendidik, partai mengorbitkan.
Golkar mengorbitkan anak pejabat demi menjaga stabilitas internal.
PKS kehilangan anak pejabat karena tak memberi ruang tumbuh.
PSI merekrut anak pejabat demi menaikkan popularitas instan.
Ketiganya sama-sama berputar di poros yang sama: politik personal, bukan ideologis.
Di tengah publik yang semakin kritis, mereka justru menampilkan wajah yang sama — politik yang diatur oleh jaringan keluarga, bukan oleh gagasan.
Dan di Sumatera Barat, yang terkenal dengan tradisi egaliter, hal ini terasa lebih menyakitkan.
VI. Ranah Minang dan Tradisi yang Mulai Tumpul
Minangkabau dikenal dengan filosofi “bulek aia dek pambuluah, bulek kato dek mufakat.”
Kepemimpinan di tanah ini semestinya tumbuh dari kesepakatan, bukan keturunan.
Namun, dalam politik modern, semangat itu tampak mulai tumpul.
Kekuasaan tak lagi hasil mufakat, tapi hasil silsilah.
Partai-partai yang semestinya menjadi ruang musyawarah kini berubah menjadi ruang keluarga.
Ironinya, banyak dari tokoh Sumbar yang bangga menisbatkan diri pada nilai-nilai adat dan moralitas publik — tapi ketika dihadapkan pada praktik kekuasaan, mereka lebih nyaman dengan pola pewarisan.
Publik mungkin tak lagi marah. Tapi diam mereka bukan tanda restu, melainkan bentuk pasrah — semacam kelelahan kolektif atas politik yang terus berputar di lingkar keluarga.
VII. Mahyeldi dan Politik Keheningan
Respons Mahyeldi, “itu urusan dia,” bisa dibaca dalam dua lapis makna.
Secara pribadi, ia ingin terlihat demokratis dan menghargai pilihan anaknya.
Namun secara politik, pernyataan itu mengungkap luka.
Luka karena seorang kader muda — yang bahkan tumbuh di rumah seorang gubernur — tak menemukan ruang nyaman di partainya sendiri.
Luka karena ideologi yang dulu terasa hangat kini menjadi formalitas yang dingin.
Luka karena sistem kaderisasi yang dulu dibanggakan justru gagal memikat generasi penerus.
Dalam banyak hal, kalimat itu bukan hanya bentuk jarak ayah dan anak.
Ia juga jarak antara partai dan rakyat, antara idealisme dan realitas.
VIII. Demokrasi yang Kehilangan Nafas
Kedua fenomena — Khairunnas di Golkar dan Mahyeldi di PKS/PSI — menunjukkan wajah lama politik Sumbar dalam kemasan baru.
Wajah yang ramah di depan publik, tapi tetap eksklusif di dalam.
Kita bisa memaklumi pilihan pribadi, tapi tidak bisa menutup mata terhadap pola yang sistemik.
Karena ketika partai lebih sibuk menjaga nama keluarga ketimbang membangun ideologi, maka demokrasi hanyalah formalitas.
Publik boleh disuguhi jargon “politik bersih”, “politik muda”, “politik terbuka”.
Tapi tanpa keberanian untuk memutus rantai warisan kekuasaan, semua itu cuma selogan yang dicetak di spanduk — mengkilap di jalan, pudar di praktik.
IX. Refleksi Akhir: Demokrasi, Silsilah, dan Harapan
Sumatera Barat pernah melahirkan tokoh-tokoh yang menolak feodalisme dan memperjuangkan meritokrasi — Hatta, Tan Malaka, Sutan Syahrir.
Namun kini, ranah ini justru jadi panggung subur bagi politik turun-temurun.
Mungkin sudah saatnya kita berhenti menormalisasi politik keluarga atas nama demokrasi.
Sebab demokrasi yang terlalu permisif terhadap silsilah akhirnya akan kehilangan arah:
yang muda bukan karena ide, tapi karena darah;
yang terpilih bukan karena kapasitas, tapi karena nama belakang.
Dan ketika politik sudah sampai pada titik itu, mungkin kita benar-benar butuh istirahat —
atau setidaknya, butuh partai yang berani jujur pada dirinya sendiri.
Redaksi Sumbar.FYI
Rubrik Opini Publik & Politik Daerah
“Menulis dari Sumatera Barat, untuk yang masih mau berpikir.”






























