PADANG, sumbar.fyi — Setelah melalui serangkaian sidang panjang, DPRD Sumatera Barat bersama Pemprov akhirnya menyepakati Perubahan APBD 2025 senilai Rp 6,244 triliun dalam rapat paripurna yang digelar awal September lalu.
Angka ini tampak seksi sebagai headline media — “Rp 6,2 triliun lebih” — tapi bila dibedah, terlihat bahwa di balik piring penuh tersebut terselip “kalori penghematan”.
Penurunan — Tapi Dibungkus Rasionalisasi
Menurut sumber lokal, nilai perubahan itu turun sekitar Rp 224 miliar atau 4,21 % dari pagu APBD murni yang diajukan sebelumnya.
Di sisi pendapatan, juga terdapat penurunan yang signifikan: PAD (Pendapatan Asli Daerah) yang sebelumnya direncanakan lebih agresif direvisi turun sekitar Rp 224 miliar.
Kesepakatan perubahan mencantumkan bahwa belanja daerah tetap dipatok senilai Rp 6,244 triliun, hampir setara dengan total pendapatan ditambah pembiayaan netto sebesar Rp 117,73 miliar.
Wakil Ketua DPRD Sumbar, Nanda Satria, menggarisbawahi bahwa rasionalisasi diperlukan agar APBD versi perubahan “lebih kredibel, berimbang, efektif, dan tepat guna”. Sementara Gubernur Mahyeldi menyatakan bahwa keterbatasan fiskal menjadi tantangan pokok, tetapi pelayanan dasar dan urusan wajib tetap menjadi prioritas.
Tetapi, ketika janji “pelayanan dasar tetap optimal” diucapkan, muncul pertanyaan mendesak: akankah janji itu nyata di aspal jalan pinggiran, sekolah nagari, dan klinik di rantau-rantau?
Efisiensi, Program Tunda, atau Justru Pemangkasan Harapan Rakyat?
Dari laporan media setempat, efisiensi dilakukan pada belanja modal dan kegiatan “pendukung” yang dianggap tak langsung mendongkrak target kinerja RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah).
Misalnya, pembangunan trotoar atau pengecatan sarana umum mungkin dipangkas, sementara anggaran kegiatan rutin seperti rapat, perjalanan dinas, atau belanja operasional tetap utuh (alias tak disentuh). Hal ini memunculkan kesan bahwa pembangunan riil “disuruh diet”, sedangkan birokrasi tetap menikmati asupan utuh.
Defisit yang tercatat dalam perubahan APBD adalah sekitar Rp 117,73 miliar, yang akan ditutup lewat penggunaan SILPA (Sisa Lebih Perhitungan Anggaran) 2024. Jika SILPA tak mencukupi, beban akan bergeser ke pinjaman atau pemotongan program lebih lanjut.
Pelayanan & Infrastruktur Terpinggir
Bagi warga Nagari A yang mengunakan jalan kabupaten, turunnya alokasi anggaran modal berarti jalan rusak tak kunjung diperbaiki. Bagi guru daerah terpencil, gaji dan tunjangan bisa saja aman — tapi sarana pendukung (seperti komputer, proyektor) bisa dipangkas.
Ketika “pelayanan dasar” diucapkan sebagai prioritas, kita berharap kata itu tidak hanya menjadi mantra di rapat DPRD, tetapi kenyataan di kampung.
Misalnya, bila alokasi untuk stunting, kesehatan desa, dan program makan bergizi gratis (MBG) dipangkas terlalu ekstrem, maka janji pemerintah untuk mendongkrak kesejahteraan malah bisa muntah di tengah jalan.
Warga Sumbar bisa saja berkelakar: “APBD kita sekarang diet, tapi pejabatnya tetap sarapan enak sehari tiga kali.”
Ironisnya, pembangunan kota besar dan ibu kota provinsi sering kali masih disokong, sementara pembangunan nagari dan akses jalan ke jorong menjadi korban.
Catatan kritis:
Transparansi dalam revisi anggaran harus lebih dari sekadar dokumen, harus ada akses publik agar warga bisa tahu potongan yang dilakukan di mana.
Pemerintah daerah mesti menimbang: mana yang bisa dipangkas tanpa mengorbankan kebutuhan dasar masyarakat.
Perubahan APBD bukan sekadar penyesuaian angka; ia mencerminkan prioritas nyata: maukah pembangunan menyentuh pinggiran atau hanya mampir di pusat?