Pemerintah resmi menurunkan harga pupuk bersubsidi sekitar 20 persen, sebagaimana disampaikan Zulkifli Hasan yang mengunjungi gudang pupuk di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Sabtu (25/10/2025).
Dalam kunjungan tersebut, beliau menyatakan bahwa stok pupuk bersubsidi untuk wilayah Jawa Timur mencapai alokasi 2 juta ton, namun baru diserap sekitar 1,5 juta ton.
Harga-baru beberapa jenis pupuk dilaporkan: pupuk Urea dari Rp2.250/kg menjadi Rp1.800/kg; NPK dari Rp2.300/kg ke Rp1.840/kg; NPK Kakao dari Rp3.300/kg ke Rp2.640/kg; ZA dari Rp1.700/kg ke Rp1.360/kg; pupuk organik dari Rp800/kg ke Rp600 atau Rp640/kg.
Kebijakan ini dinilai langkah positif oleh petani, karena biaya produksi bisa ditekan dan pada saat yang sama harga gabah dilaporkan mulai naik.
Namun, beberapa catatan perlu diperhatikan. Meski stok terlihat aman, terdapat sisa kuota yang belum terserap — misalnya di Jawa Timur terdapat sisa lebih dari 500 ribu ton dari alokasi.
Bagi petani di Sumatera Barat, langkah penurunan harga pupuk memang membuka ruang keringanan biaya. Namun tantangan distribusi tetap nyata: akses ke pupuk bersubsidi seringkali terhambat oleh jarak, logistik, dan kondisi sawah yang berbeda-beda di daerah dataran dan perbukitan di Sumbar. Petani skala kecil di Tanah Datar atau Solok misalnya masih menghadapi problem kuota dan pengantaran pupuk ke lokasi remote.
Kritik muncul bahwa penurunan harga memang penting, tetapi efektivitasnya akan menentukan: bila distribusi tidak tepat sasaran atau terlambat, beban produksi petani tetap tinggi. Di sisi lain, pengawasan terhadap mekanisme distribusi juga krusial agar tidak menimbulkan praktik makelar atau ketidakefisienan.
Kronologi singkat:
Oktober 2025: Pemerintah menetapkan penurunan harga pupuk subsidi hingga ~20 %.
25 Oktober 2025: Zulkifli Hasan melakukan sidak ke gudang pupuk Jombang dan memastikan stok serta harga.
Petani menyambut baik, namun di lapangan masih ditemukan hambatan distribusi dan kuota yang belum terserap.
Konteks lokal Sumatera Barat:
Dengan topografi yang berbukit dan banyak lahan pertanian di kawasan nagari, pemangkasan harga pupuk dapat menjadi kesempatan bagi petani untuk lebih leluasa memilih pupuk dan memperbaiki kualitas produksi. Tetapi, bila akses ke pupuk subsidi masih buruk—karena transportasi, keterlambatan distribusi atau kurang informasinya—maka potensi manfaat tetap terbatas.
Penurunan harga pupuk subsidi sekitar 20 % membuka peluang bagi petani di Indonesia dan khususnya Sumatera Barat untuk meringankan beban produksi. Namun, manfaat nyata baru akan tercapai jika distribusi tepat sasaran, kuota cukup, dan mekanisme pengawasan berjalan baik.


























