Padang – Pemangkasan dana transfer ke daerah (TKD) oleh pemerintah pusat memicu kegelisahan di lingkup pemerintahan Provinsi Sumatera Barat (Sumbar). Menyikapi kondisi tersebut, Pemprov Sumbar kini mendorong agar kewajiban pembayaran gaji ASN diambil alih pusat, sebagai langkah darurat menjaga stabilitas fiskal dan kinerja pelayanan publik.
Menurut data dari Direktorat Jenderal Perbendaharaan, realisasi TKD ke Sumbar hingga 31 Agustus 2025 mencapai Rp 13,87 triliun, atau 64,61 % dari pagu Rp 21,47 triliun. Komponen terbesar berasal dari DAU (Dana Alokasi Umum) senilai Rp 10,02 triliun.
Namun, Wakil Wali Kota Padang menyebut bahwa pemerintah pusat telah memotong ±Rp 500 miliar dari alokasi TKD untuk tahun anggaran 2026.
Sebelumnya, harian Singgalang melaporkan bahwa pengurangan TKD dapat memengaruhi TKD (Tunjangan Kinerja Daerah / pun TPP) hingga Rp 2,6 triliun di wilayah provinsi.
Kritik Terukur & Perspektif Lain
- Ketergantungan fiskal yang berisiko
Keinginan Pemprov agar pusat mengambil alih ongkos gaji ASN mencerminkan kelemahan kapasitas fiskal daerah. Seharusnya, daerah semakin memperkuat Pendapatan Asli Daerah (PAD) agar tidak bergantung APBN. Mahyeldi selaku Gubernur Sumbar telah menetapkan kebijakan pengaitan kepatuhan pajak ASN dengan TPP sejak 23 Januari 2025 melalui SE Gubernur Nomor 082/SE-GSB/BAPENDA/2025. - Efek keadilan anggaran & sentralisasi berlebihan
Bila pusat mengambil alih gaji ASN, dapat timbul distorsi kewenangan antara pusat dan daerah—berpotensi melemahkan otonomi daerah. Senator asal Sumbar, Muslim M. Yatim dan Jelita Donald, bahkan mendorong agar dana transfer ditambah dan dikelola langsung oleh daerah, agar fleksibilitas belanja desentralisasi tetap terjaga. - Risiko politis & retorika populis
Inisiatif “ambil alih gaji pusat” bisa jadi mudah disampaikan tapi sulit implementasinya: apakah pusat siap menanggung beban berganda? Apakah kebijakan itu akan dipakai sebagai alat tekanan politik ke pusat? Publik layak mengkritisi apakah ini solusi jangka menengah atau sekadar strategi komunikasi.
Pemangkasan dana transfer pusat mendorong Pemprov Sumbar uji batas kewenangan dengan meminta pusat ambil alih pembayaran gaji ASN. Di satu sisi, ini menunjukkan urgensi fiskal daerah; di sisi lain, potensi konflik kewenangan, pusatisasi, dan utang kebijakan tak boleh diabaikan.
Sumbar perlu dorong transformasi PAD, pengelolaan aset & BUMD yang profesional, serta penguatan kapasitas fiskal agar tak selalu tergantung “tangan pusat”.
Publik di Sumbar layak menuntut transparansi lebih, agar langkah ini tidak menjadi janji politik sesaat. Kiranya, media lokal & nasional perlu menagih komitmen dari pusat dan daerah agar kebijakan anggaran bersandar pada keadilan, bukan kepentingan politik.