Aktivitas pejabat publik di media sosial semakin masif dalam beberapa tahun terakhir.
Dari kepala daerah, wakil kepala daerah, hingga pejabat pusat, pola komunikasi visual kini menjadi strategi utama membangun kedekatan publik.
Fenomena ini juga terlihat di Sumatera Barat. Aktivitas pejabat daerah kerap ditampilkan melalui konten lapangan yang intens. Namun, sebagian publik menilai gaya tersebut lebih menonjolkan fungsi pengawasan dan komentar situasional.
Pola serupa sebenarnya terjadi secara nasional. Sejumlah pejabat eksekutif terlihat aktif mengkritisi kondisi lapangan, menyoroti persoalan teknis, dan menyampaikan evaluasi terbuka. Gaya ini lazim dilakukan legislatif yang memiliki fungsi kontrol, bukan eksekusi kebijakan.
Secara sistem pemerintahan, perbedaan eksekutif dan legislatif bersifat mendasar.
Eksekutif bertugas menjalankan pemerintahan, mengambil keputusan, menggerakkan anggaran, serta memastikan program berjalan.
Legislatif berfungsi mengawasi, mengkritisi, dan memberi tekanan politik agar kebijakan berjalan sesuai aturan.
Ketika pejabat eksekutif lebih sering tampil sebagai pengamat lapangan daripada pengambil keputusan, batas fungsi tersebut menjadi kabur. Publik pun kesulitan menilai capaian kerja yang konkret di balik tayangan visual.
Media sosial memang menjadi ruang komunikasi penting bagi pejabat publik. Namun, bagi masyarakat daerah seperti Sumatera Barat, kehadiran digital tetap diharapkan sejalan dengan kerja struktural dan dampak kebijakan nyata.
Fenomena ini menjadi refleksi bersama tentang bagaimana pejabat menempatkan media sosial sebagai alat, bukan tujuan, dalam menjalankan pemerintahan.




























