PADANG — Dua puluh tahun setelah Terminal Lintas Andalas dialihfungsikan menjadi pusat perbelanjaan modern Plaza Andalas pada 2004, denyut ekonomi di kawasan inti Pasar Raya Padang dilaporkan terus merosot. Banyak kios tutup permanen, dan pedagang lama memilih pindah ke luar kota demi mencari pasar yang lebih menjanjikan.
Terminal Lintas Andalas pernah menjadi pusat aktivitas ekonomi di jantung kota. Sejak beroperasi sekitar 1972 hingga 2003, terminal ini menjadi simpul transportasi yang menghubungkan Padang dengan daerah pedalaman Minangkabau. Peran itu juga menjadi salah satu penggerak utama perputaran uang di kawasan pasar.
Namun setelah dialihfungsikan, dampaknya terasa panjang. Pedagang yang dulu bergantung pada keramaian terminal kini mengalami penurunan omzet yang signifikan. Beberapa di antaranya terpaksa menutup usaha dan mencari peluang dagang di kota lain seperti Bukittinggi dan Solok.
Ali Harmon (50), satu dari sedikit pedagang yang masih bertahan di kawasan Pasar Raya, menyebut sudah banyak rekannya yang hengkang. Kondisi ini mencerminkan perubahan struktur ekonomi lokal yang tidak lagi dipicu oleh arus mobilitas massal penumpang dan barang seperti dulu.
Pasar Raya Padang sendiri merupakan salah satu pasar paling tua dan bersejarah di Sumatera Barat, dikenal sebagai pusat perdagangan sejak era kolonial. Hilangnya terminal antarkota di kawasan ini juga berkaitan dengan dinamika perubahan urban di pusat kota, yang turut mempengaruhi pola mobilitas dan interaksi ekonomi warga.
Kisah Pasar Raya kini bukan sekadar cerita kemunduran. Ia juga mencerminkan tantangan bagi ekonomi lokal di kota Padang dalam menghadapi pergeseran fungsi ruang dan kebijakan tata kota. Meski demikian, sejumlah aktivitas ekonomi tetap bertahan, terutama di sektor jasa dan perdagangan kecil, meski dalam skala yang jauh lebih terbatas.































