Jakarta, 8 Oktober 2025 — Anggota DPR RI dari Fraksi PKS, Hj. Nevi Zuairina, mendesak agar pemerintah segera mengambil langkah konkret terhadap praktik tambang ilegal di Kepulauan Bangka Belitung (Babel). Menurutnya, kasus tersebut bukan hanya persoalan hukum, melainkan urusan kedaulatan sumber daya negara.
Nevi menutup argumennya dengan pernyataan tegas: “Negara tidak boleh kalah oleh mafia tambang.”
- Klaim Kerugian Rp 300 Triliun — Benarkah?
Nevi dan PKS menyebut kerugian negara atas tambang ilegal Babel mencapai Rp 300 triliun. Namun Presiden Prabowo baru-baru ini menyatakan bahwa nilai aset sitaan baru berada di kisaran Rp 6–7 triliun, belum termasuk mineral monasit yang belum sepenuhnya dievaluasi.
Temuan monasit di lokasi tambang ilegal juga diperkirakan bernilai Rp 128 triliun, tapi ini adalah nilai estimasi yang masih terbuka untuk verifikasi independen. - Desakan Langkah Konkret dari Nevi & PKS
Untuk menanggulangi praktik ilegal ini, PKS mengusulkan beberapa langkah:
Audit forensik dan valuasi aset oleh lembaga independen seperti BPK atau pakar mineral
Pengamanan site tambang yang disita agar tidak dijarah (“asset stealing”)
Pemulihan lingkungan dan reklamasi yang pembiayaannya dibebankan kepada pelaku
Pemulihan sosial-ekonomi masyarakat terdampak melalui pelatihan kerja, kompensasi adil
- Reaksi Pemerintah & Pelibatan Aparat
Presiden Prabowo turut hadir menyaksikan penyerahan aset rampasan negara ke PT Timah Tbk di Babel, sebagai bagian dari langkah nyata pemerintah dalam kasus ini. Aset yang disita meliputi smelter, alat berat, lahan, logam timah, tanah — secara total mencapai Rp 6–7 triliun (belum termasuk monasit).
Beberapa pihak pengamat menyebut tindakan ini sebagai “perang terhadap serakahnomics tambang” — upaya menegakkan hukum tanpa pandang bulu.
Kesenjangan Antara Klaim dan Realita
Klaim kerugian Rp 300 triliun sangat publik dan mengundang simpati. Tapi nilai aset sitaan dan temuan saat ini baru sebagian kecil dari klaim tersebut. Untuk menjaga kredibilitas, angka besar seperti itu harus disertai laporan audit independen yang transparan dan dapat diakses publik.
Potensi Konflik Kepentingan & Kapasitas Aparat
Pemerintah telah menyita aset, namun pengamanan dan pengelolaan aset menyita tantangan sendiri: dari potensi pencurian aset sibuk hingga manipulasi data valuasi. Tanpa koordinasi yang kuat antara KLHK, Kejaksaan, Mabes Polri, TNI, dan institusi pengawas, upaya penataan bisa mandeg.
Aspek Lingkungan & Sosial Sering Terabaikan
Sejarah mencatat bahwa tambang timah di Babel meninggalkan lubang kolong (pit) dan kerusakan mangrove yang luas. Proses reklamasi dan pemulihan ekologis paling sering tidak dijalankan atau diwajibkan secara minimal.
Dan masyarakat lokal — yang tergantung pada lahan, nelayan, dan ekosistem — sering menjadi korban terdampak tanpa ganti rugi layak atau jalur pemberdayaan.
Momentum Transparansi SDA di Era Digital
Kasus ini seharusnya menjadi momentum menyusun sistem pengawasan tambang berbasis digital — misalnya GIS publik, pelaporan real-time, sistem blockchain traceability mineral — agar klaim kerugian, jenis monasit, kuantitas timah, status izin dan aktivitas di lapangan bisa dilihat oleh publik.
Kasus tambang ilegal Babel bukan drama sesaat — ini ujian serius bagi komitmen negara pada transparansi, akuntabilitas, dan keadilan ekologi. Bila pemerintah gagal mengeksekusi langkah Nevi dan masukan masyarakat, bukan hanya kerugian besar yang akan terjadi, tetapi kepercayaan publik terhadap pengelolaan SDA kembali terkikis.
Pertanyaannya, Apakah DPR dan pemerintah cukup berani membuka audit publik dan melibatkan masyarakat dalam pengawasan?