Menteri Lingkungan Hidup resmi menyegel sejumlah lokasi tambang di Sumatera Barat sebagai respons terhadap bencana banjir dan longsor besar yang melanda provinsi itu akhir November 2025. Pemerintah menilai ada pelanggaran aturan lingkungan yang berkontribusi memperparah dampak hidrometeorologi.
Banjir dan tanah longsor yang dipicu hujan ekstrem akibat dampak Cyclone Senyar telah menewaskan ratusan orang dan merusak ribuan rumah di provinsi Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatera Barat. Data terbaru mencatat sekitar 969 orang meninggal, 5.000+ luka, serta kerugian diperkirakan Rp68,6 triliun.
Menteri Lingkungan Hidup menyatakan penyegelan tambang dilakukan untuk menghentikan aktivitas yang dinilai tidak mengikuti kaidah pengelolaan lingkungan. Pemerintah juga menyiapkan evaluasi mendalam terhadap izin-izin tambang yang berada di daerah aliran sungai dan kawasan hulu yang terdampak.
Langkah ini sejalan dengan pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral bahwa perusahaan tambang yang terbukti melanggar peraturan akan dikenai sanksi tegas, termasuk pencabutan izin.
Kritikus lingkungan, termasuk aktivis di Sumatera Barat, menilai bencana ini bukan sekadar akibat cuaca ekstrem. Mereka menyebut degradasi hutan dan pengelolaan ruang yang buruk akibat praktik pertambangan dan penebangan hutan memperburuk daya serap air sehingga banjir kian parah.
Penyegelan tambang di Sumatera Barat menjadi cermin urgensi tata kelola lingkungan yang serius di daerah. Bagi masyarakat Sumbar, langkah ini menyiratkan tuntutan perubahan kebijakan yang lebih tegas agar risiko bencana ekologis yang berulang dapat ditekan.































