Bandar lahan berkilau di atas peta, kerugian negara Rp 205 miliar jadi residu nyata.
KPK menyita perhatian publik setelah mengumumkan bahwa kasus pengadaan lahan proyek Tol Trans Sumatera diduga menyimpan skema pengondisian sedari awal. Rabu (10/10/2025), empat saksi diperiksa untuk membahas bagaimana lahan itu dikondisikan agar bisa diteruskan ke PT Hutama Karya.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menyatakan bahwa penyidik mendalami proses jual-beli lahan, termasuk apakah ada skema pengondisian dari awal. Saksi yang diperiksa adalah Rudi Hartono (notaris/PPAT), dua stafnya, dan satu pihak swasta bernama Bestari.
Sebelumnya, dua tersangka, yakni Direktur Utama PT HK, Bintang Perbowo, dan mantan Kepala Divisi HK, M. Rizal Sutjipto, sudah ditahan sejak Agustus 2025 atas dugaan pelanggaran Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Menurut laporan BPKP, nilai kerugian negara akibat pengadaan lahan ini mencapai Rp 205,14 miliar, terdiri dari pembayaran PT HK ke PT Sanitarindo Tangsel Jaya (STJ) senilai Rp 133,73 miliar untuk lahan di Bakauheni, serta Rp 71,41 miliar untuk lahan di Kalianda.
Selain itu, KPK telah menyita aset yang terkait: 122 bidang tanah di Bakauheni dan Kalianda, 13 bidang milik pihak terkait, serta satu unit apartemen di Bintaro, Tangerang Selatan.
Salah satu tersangka perusahaan, PT STJ, dan pemiliknya, Iskandar Zulkarnaen (IZ), telah ditetapkan, namun penyidikan terhadap IZ dihentikan karena ia meninggal dunia pada 8 Agustus 2024.
Kasus ini bukan hanya soal angka besar dan aset disita. Ia adalah cermin: seberapa kokoh lembaga pengawasan kita dalam membongkar jaringan korupsi yang disamarkan lewat transaksi lahan? Jika “pengondisian lahan sejak awal” benar terjadi, maka kolaborasi sistemik antar oknum dan perusahaan menggali lubang baru dalam peta korupsi nasional. Publik di Sumatera Barat dan seantero negeri menunggu bukan hanya vonis, melainkan pembaruan budaya tata kelola yang tak bisa dilecehkan lewat jargon atau seremonial.