PADANG — Wangi kopi kini bukan cuma keluar dari kedai modern di kota besar. Di jalanan Padang, Bukittinggi, hingga Payakumbuh, aroma itu datang dari gerobak-gerobak sederhana, motor modifikasi, bahkan sepeda listrik yang menjajakan kopi racikan tangan anak muda.
Fenomena ini disebut “kopi keliling” — tren baru ekonomi kreatif yang lahir dari keresahan dan keberanian.
Sebagian besar pelakunya adalah anak muda usia 20–35 tahun, banyak di antaranya eks pekerja pariwisata dan mahasiswa yang kehilangan pekerjaan setelah pandemi. Kini mereka mengubah trotoar menjadi etalase dan jalan raya menjadi ruang hidup.
“Awalnya cuma iseng jualan pakai sepeda listrik, tapi sekarang bisa buka dua titik di Padang dan satu di Pesisir Selatan,” ujar salah satu pelaku usaha kopi keliling yang ditemui di kawasan Ulak Karang.
Di balik gerobak sederhana itu, rantai ekonomi kecil mengalir. Biji kopi didapat dari petani di daerah Agam, Tanah Datar, atau Solok. Sebagian diolah sendiri dengan alat rumahan, sebagian disangrai di usaha kecil lokal. Harga secangkir kopi keliling berkisar Rp10 ribu–Rp20 ribu, tapi omzet hariannya bisa mencapai Rp700 ribu–Rp1 juta.
Lebih dari 200 unit kopi keliling kini tercatat aktif di beberapa kabupaten/kota di Sumatera Barat. Di Padang sendiri, komunitas barista jalanan mulai rutin menggelar “kopi mingguan” di taman kota untuk berbagi teknik seduh dan berbincang dengan konsumen.
Bagi sebagian pelaku, ini bukan sekadar bisnis, tapi cara menjaga warisan kopi Minang agar tetap hidup di tangan generasi muda. Sumatera Barat dikenal sebagai salah satu daerah penghasil arabika terbaik, tapi banyak petani yang kesulitan menjual hasil panen. Melalui skema pembelian langsung, para penjual kopi keliling mencoba memutus rantai tengkulak dan memperpendek jarak antara kebun dan gelas.
Namun, di balik geliatnya, ada pekerjaan rumah besar: legalitas usaha, pengaturan ruang publik, dan akses modal. Banyak pelaku usaha mikro yang belum terdaftar secara resmi dan masih beroperasi seadanya.
Meski begitu, kehadiran kopi keliling menjadi bukti bahwa ekonomi kreatif tidak selalu butuh gedung megah atau modal besar. Ia tumbuh dari semangat, dari tangan-tangan yang terus bekerja meski di bawah panas dan debu jalanan.
Di Sumatera Barat, kopi bukan lagi sekadar minuman. Ia kini menjadi simbol perlawanan terhadap stagnasi ekonomi — sekaligus pengingat bahwa perubahan bisa dimulai dari satu cangkir di pinggir jalan.































