Kementerian Kehutanan menetapkan PT BRN dan direktur utamanya sebagai tersangka pembalakan liar di Hutan Sipora, Mentawai. Kerugian negara dari kasus ini diperkirakan mencapai Rp447 miliar.
Penyidik menemukan bahwa praktik illegal logging berlangsung secara terorganisir antara 2022–2025, terutama di wilayah Desa Tuapejat dan Desa Betumonga, Sipora Utara, Mentawai. Modusnya: menebang kayu di luar areal izin (PHAT), bahkan memasuki kawasan hutan produksi, lalu memanipulasi dokumen agar kayu ilegal tampak legal.
Sebagai bukti, penyidik menyita 17 alat berat, sembilan truk kayu, dan 2.287 batang kayu dengan volume 435,62 meter kubik.
Pada tahap hilir, juga diamankan kapal tugboat dan tongkang yang membawa kayu bulat sebanyak 1.199 batang dengan volume 5.342,45 meter kubik di Gresik, Jawa Timur.
Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kehutanan menegaskan bahwa penindakan dilakukan dari hulu sampai hilir. Skema legalitas dan perizinan untuk semua pemegang izin kayu — termasuk PHAT dan PBPH — sekarang diuji lebih ketat untuk cegah penyalahgunaan legitimasi kayu.
Potensi kerugian negara dari denda dan pungutan hutan (DR & PSDH) hanya Rp1,4 miliar. Namun setelah memperhitungkan dampak kerusakan lingkungan — seperti meningkatnya risiko banjir, longsor, dan kekeringan — total kerugian diperkirakan mencapai Rp447,09 miliar.
Kasus ini menjadi pengingat pahit bahwa perusakan hutan bukan sekadar soal kayu dan uang. Bagi masyarakat Sumatera Barat — terutama di Mentawai — perusakan alam berarti ancaman terhadap kestabilan lingkungan, sumber hidup, dan keselamatan warga. Keadilan harus ditegakkan bukan hanya untuk menghukum pelaku, tetapi juga untuk melindungi hutan sebagai bagian dari masa depan Sumbar.































