Sebuah kapal tongkang pengangkut kayu gelondongan asal Sumatera Barat terdampar di perairan di Lampung. Diduga kapal membawa sekitar 4.800 meter kubik kayu jenis kruing dan meranti.
Kejadian ini menarik perhatian karena datang hanya beberapa pekan setelah banjir besar di Sumbar, banjir yang diikuti tersebarnya kayu gelondongan dari daerah hulu.
Menurut informasi di lapangan, kapal tersebut sempat berlayar dari wilayah asal kayu di Sumatera Barat menuju tujuan akhir pengiriman. Namun, sebab kandas atau terdampar belum dipastikan secara publik. Hingga kini, belum ada rilis resmi dari aparat terkait soal penyebab dan langkah penyelamatan kayu serta kapal.
Kasus ini menimbulkan sejumlah pertanyaan penting: bagaimana kayu asal Sumbar bisa berlayar tanpa pengawalan ketat? Siapa bertanggung jawab jika kayu hilang, rusak, atau bahkan hilang jejak? Apalagi, kayu-kayu itu berasal dari hutan Sumbar hutan yang selama ini jadi bagian penting ekonomi dan lingkungan masyarakat Minang.
Dampaknya bisa luas, dari kerugian ekonomi hingga potensi rusaknya kredibilitas industri kayu di Sumbar. Masyarakat dan pelaku usaha kayu mesti waspada. Pemerintah daerah sebaiknya segera mengevaluasi pengawasan distribusi dan logistik kayu, agar kekayaan hutan tak cuma berbuah retorika tetapi nyata dalam manfaat.
Peristiwa ini juga mengingatkan kita pada pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan hasil hutan. Kayu hasil bumi Sumbar bukan sekadar komoditas. Ia identitas dan masa depan komunitas kita di ranah Minang.































