Mentawai, Sumatera Barat – Operasi gabungan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) berhasil mengungkap jaringan pembalakan liar di Hutan Sipora, Kepulauan Mentawai, yang merugikan negara sekitar Rp 239 miliar. Itu terjadi setelah petugas menyita 4.610 meter kubik kayu meranti yang sedang dikirim ke Jawa.
Pengungkapan bermula dari penyitaan kayu ilegal di kapal tongkang di Gresik, Jawa Timur. Setelah penelusuran, kayu itu ternyata berasal dari hutan kawasan Sipora, Mentawai. Dalam prosesnya, pelaku menggunakan modus dokumen legalitas yang dipalsukan agar tampak sah. Padahal, luas hutan yang dikelola secara legal (PHAT) hanya sekitar 140 hektare. Sementara area tebangan Ilegal mencapai sekitar 730 hektare.
Kasus ini melibatkan korporasi PT BRN sebagai pihak yang ditetapkan tersangka korporat, serta seorang individu berinisial IM sebagai tersangka perseorangan.
Kayu ditebang secara liar lalu dijual ke PT HLMP di Gresik dan ke pengusaha di Jepara selama periode Juli hingga Oktober 2025.
Menurut Kapuspenkum Kejagung Anang Supriatna, kerugian negara sebesar Rp 239 miliar terdiri dari kerugian ekosistem sekitar Rp 198 miliar dan nilai ekonomi kayu sekitar Rp 41 miliar.
Untuk penanganan kasus ini, aparat menggunakan Undang-Undang Kehutanan dan UU Pencegahan Perusakan Hutan, dengan ancaman penjara hingga 15 tahun dan denda sampai Rp 15 miliar.
Secara lokal, kejadian ini memantik kecemasan di Sumbar bahwa sumber daya alam, terutama di wilayah terpencil seperti Kepulauan Mentawai, masih menjadi sasaran pengerukan oleh jaringan yang terorganisir. Bila kita tak memperkuat pengawasan, risiko kerusakan lingkungan dan kerugian negara bisa semakin besar.
Kasus illegal logging di Sipora bukan sekadar soal pencurian kayu. Ia adalah alarm bahwa sistem perizinan, pengawasan hutan, dan penegakan hukum di Sumatera Barat masih rapuh. Bila tidak diikuti tindakan tegas, bukan hanya hutan yang hilang, tetapi kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan SDA juga turut terkikis.