PADANG — Potensi perkebunan gambir di Sumatera Barat (Sumbar) terbukti besar dan dapat menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi daerah jika diolah secara baik.
Menurut pengusaha nasional keturunan Minang, Jefri Nedi, gambir yang diproduksi di Sumbar harus segera memasuki proses hilirisasi agar putaran uang di daerah semakin cepat. “Kita punya sumbernya, masak cuan didapat kecil juga, pasti ada yang salah. Ini yang harus dibenahi lewat tata kelola terbaik supaya income Sumbar di sektor perkebunan lebih mantap,” ujarnya. Data menunjukkan bahwa komoditas perkebunan di Sumbar menyumbang sekitar 22–25 persen dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sektor pertanian, kehutanan dan perikanan.
Lebih lanjut, gambir menjadi komoditas ekspor utama: sekitar 80–90 persen ekspor gambir Indonesia berasal dari Sumbar, terutama wilayah Limapuluh Kota dan Payakumbuh. Meski demikian, hambatan masih ada. Jefri Nedi menyebutkan sejumlah tantangan seperti fluktuasi harga dunia, produktivitas kebun rakyat yang masih rendah, alih fungsi lahan, dan minimnya pengolahan hasil di dalam daerah. Bagi masyarakat pedesaan di Sumbar, khususnya petani kecil dan buruh perkebunan, sektor gambir berperan krusial dalam menyokong mata pencaharian. “Mayoritas masyarakat desa menggantungkan hidup dari perkebunan … perputaran ekonomi hasil panen jadi sumber penghasilan harian/periodik, uang pun berputar ke pasar desa, koperasi, hingga UMKM lokal,” katanya.
Dari aspek kebijakan, langkah strategis yang diperlukan adalah memperkuat konektivitas infrastruktur di daerah perkebunan (jalan, listrik, pasar), mendorong modernisasi pertanian, serta menggerakkan hilirisasi hasil di dalam Sumbar. Dengan arah tersebut, bukan hanya ekspor yang meningkat, melainkan kesejahteraan masyarakat di kampung‐kampung juga dapat terangkat.
Dengan potensi besar yang dimiliki, hilirisasi gambir bukan sekadar jargon — ini jembatan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan di Sumbar dari tingkat desa hingga kota.































