Padang, Sumatera Barat – Harga jagung pipilan di Kabupaten Pasaman Barat melonjak drastis dari Rp 3.300 per kilogram menjadi Rp 5.000/kg, atau naik sekitar 51,5 % dalam hitungan hari terakhir.
Petani di Garuntang, Kecamatan Pasaman, menyebut bahwa kenaikan ini dipicu lonjakan permintaan dari pabrik pakan ternak di luar wilayah.
Produksi jagung semester I 2024 tercatat 122.356 ton dari luas 18.336 ha, dan target akhir tahun adalah 223.236 ton.
Dalam aksi panen raya serentak kuartal III, Polres Pasbar menyebut bahwa 250 ha lahan telah dipersiapkan, dan pengolahan serta pendampingan petani dikoordinasikan dengan Bulog.
Bupati Yulianto memuji inisiatif stabilisasi harga lewat kemitraan dengan Bulog, yang menurutnya memecah siklus jatuhnya harga saat panen melimpah.
Namun, kritik muncul dari pengamat pertanian. Beberapa poin sorotan:
- Ketahanan harga jangka panjang tidak bisa dijamin jika pasokan melonjak. Sistem intervensi perlu permanen, bukan momok menjelang panen saja.
- Rantai pasok belum transparan. Siapa penampung utama jagung? Apakah koperasi atau tengkulak? Adakah margin penyelewengan?
- Petani tetap rentan terhadap faktor eksternal – seperti kualitas bibit, penyakit tanaman, dan biaya pupuk yang kian mahal — yang bisa memakan margin dari kenaikan harga itu sendiri.
Sebagai salah satu daerah penghasil jagung terbesar di Sumatera Barat, lonjakan harga di Pasbar berpotensi menjadi indikator bagi kabupaten lain di provinsi. Jika dimanfaatkan secara strategis, hal ini bisa menjadi momentum peningkatan kesejahteraan petani luas di Sumbar. Namun jika nantinya harga amblas dan intervensi hilang, petani kembali jadi korban siklus rendah-tinggi yang tak terkendali.
Kenaikan harga jagung di Pasbar bukan semata kabar gembira — ini alarm bagi seluruh pemangku kebijakan: petani butuh sistem yang adil dari hulu ke hilir, bukan kebijakan sesaat. Pemerintah daerah dan pusat harus membangun sistem pasar jagung yang transparan, memperkuat koperasi petani, dan menjamin pasar yang adil.
Jika intervensi hanya jangka pendek, maka kenaikan harga ini berpotensi menjadi candu sesaat — dan ketika panen melimpah kembali, petani bisa kembali jatuh dalam jebakan harga rendah. Lebih baik satu kebijakan tersistem daripada 100 kebijakan dadakan.