Solok Selatan — sumbar.fyi
Kenaikan harga jagung dalam beberapa pekan terakhir membawa angin segar bagi para petani di Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat. Harga jagung pipilan kering saat ini masih bertahan di kisaran Rp5.600 per kilogram, setelah sempat mencapai Rp6.500 per kilogram dua bulan lalu.
Meski sedikit menurun, angka tersebut tetap tergolong tinggi dan berdampak positif terhadap pendapatan petani di daerah sentra jagung itu. Namun di balik kabar baik tersebut, sejumlah tantangan masih mengintai sektor pertanian, terutama terkait kenaikan biaya produksi dan cuaca ekstrem.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Barat, biaya produksi jagung tahun 2024 naik sekitar 18% dibanding tahun sebelumnya. Lonjakan terbesar terjadi pada komponen pupuk, tenaga kerja, dan bahan bakar mesin pengering. Hal ini membuat margin keuntungan petani tak sebesar yang terlihat di permukaan.
“Secara nominal memang harga naik, tapi ongkos juga naik. Belum lagi kalau musim hujan datang, hasil panen bisa turun,” ujar Andi (47), salah satu petani jagung di Kecamatan Sangir, kepada sumbar.fyi, Sabtu (5/10).
Sementara itu, Dinas Pertanian Solok Selatan menilai harga tinggi ini bisa menjadi momentum bagi petani untuk memperkuat sistem pascapanen dan memperbaiki akses ke pasar. “Harga memang bagus, tapi kita perlu pastikan rantai distribusi efisien agar petani tak rugi di biaya produksi,” kata Kepala Dinas Pertanian Solok Selatan, Yusran, ketika dihubungi.
Secara nasional, harga jagung terus menanjak sejak pertengahan 2024, dipicu meningkatnya permintaan industri pakan ternak serta terganggunya pasokan akibat cuaca kering di beberapa sentra produksi di Jawa Timur dan Sulawesi.
Meski kenaikan harga memberikan ruang napas, kesejahteraan petani masih bergantung pada kebijakan struktural. Beberapa ekonom pertanian menilai bahwa subsidi pupuk dan efisiensi logistik menjadi kunci agar petani tidak sekadar “penonton” dalam rantai nilai komoditas jagung.
Menurut Indef (2024), struktur pasar jagung di Indonesia masih timpang karena sebagian besar dikuasai oleh pelaku besar industri pakan, sementara petani kecil menghadapi risiko tinggi dan keterbatasan modal.
Kondisi ini menunjukkan bahwa kenaikan harga bukan jaminan kesejahteraan, jika tidak diikuti dengan reformasi kebijakan pertanian di tingkat daerah.
Harga jagung di Solok Selatan memang membawa harapan baru, tetapi kesejahteraan petani tetap menuntut sistem yang lebih adil, efisien, dan berpihak pada produsen kecil. Tanpa itu, euforia “harga tinggi” hanya akan menjadi kabar baik sesaat di tengah cuaca dan biaya produksi yang kian tak menentu.