PADANG — Suasana dini hari di Pasie Nan Tigo, Kecamatan Koto Tangah, Sabtu (1/11/2025), berubah tegang ketika laporan tentang rencana tawuran pelajar beredar di grup komunikasi warga. Tim Dubalang Koto Tangah, satuan keamanan swakarsa bentukan masyarakat, langsung bergerak melakukan patroli keliling kampung.
Namun semangat menjaga kampung malam itu berujung luka. Seorang anggota Dubalang terjatuh keras ke aspal saat mengejar sekelompok pelajar yang diduga hendak tawuran. Ia kini dirawat intensif di RS Siti Rahmah Padang dan dijadwalkan menjalani operasi.
“Anggota kami jatuh saat berusaha menghadang motor pelaku. Kami hanya ingin mencegah darah muda itu tumpah di jalan,” ujar salah satu anggota Dubalang dengan suara berat.Aksi Cegah Tawuran yang Berujung Petaka
Berdasarkan keterangan di lapangan, insiden terjadi sekitar pukul 02.45 WIB. Warga melaporkan dua kelompok pelajar yang berencana bentrok di kawasan pesisir. Dubalang segera menyisir sejumlah titik rawan.
Awalnya situasi terkendali. Namun sekitar pukul 03.15 WIB, dua sepeda motor berhenti di lampu merah depan Aciak Mart Lumin. Dari kejauhan, tampak pengendara mengacungkan benda tajam — diduga senjata untuk tawuran.
Tim Dubalang melakukan pengejaran ke arah Lubuk Minturun. Dalam kejar-kejaran di jalan sempit dan gelap, seorang anggota kehilangan kendali hingga terjatuh. Upaya heroik itu berakhir dengan luka serius di tengah malam yang sunyi.
Beban Sosial yang Dipikul Warga
Peristiwa ini membuka kembali perdebatan lama: siapa sebenarnya yang menjaga keamanan lingkungan di tengah keterbatasan aparat?
Di banyak nagari dan kelurahan di Sumatera Barat, keberadaan Dubalang menjadi penyangga ketertiban sosial. Mereka berpatroli malam, menghadang balapan liar, hingga menengahi tawuran pelajar — semua dengan perlengkapan seadanya.
Namun dedikasi itu jarang diimbangi dengan perlindungan yang layak. Banyak Dubalang tidak memiliki jaminan keselamatan, bahkan biaya operasional mereka sering berasal dari urunan warga.
“Kalau bukan kami yang turun, siapa lagi? Tapi kami juga berharap ada perhatian dari pemerintah. Kami bukan aparat, tapi kami juga manusia,” tutur seorang anggota Dubalang lainnya.Tawuran dan Krisis Moral Kota
Fenomena tawuran pelajar di Padang terus meningkat sepanjang 2025. Berdasarkan data kepolisian, kawasan pesisir dan jalan utama menjadi titik favorit bentrokan antar kelompok pelajar.
Sosiolog Universitas Andalas, Dr. Rahmad Syafwan, menilai hal ini sebagai gejala lemahnya kontrol sosial di lingkungan sekolah dan keluarga.
Menurutnya, ketika ruang ekspresi anak muda tertutup dan komunikasi dengan orang tua macet, kekerasan menjadi bentuk pelampiasan baru.
“Peran masyarakat seperti Dubalang sangat penting, tapi perlu dukungan struktural agar tidak berujung pada tragedi,” ujarnya.
Antara Pengabdian dan Risiko
Kini, satu anggota Dubalang masih terbaring di rumah sakit, sementara rekan-rekannya tetap berpatroli malam. Mereka sadar, menjaga kampung bukan sekadar tugas, tapi panggilan nurani.
“Dubalang bukan polisi, tapi kami berdiri di garis pertama. Kami hanya ingin anak-anak muda kita pulang ke rumah, bukan ke rumah sakit,” ucap seorang anggota di pos ronda Pasie Nan Tigo, menatap jalan yang kembali sepi.
Peristiwa ini meninggalkan pesan kuat: keamanan bukan hanya urusan aparat, tapi tanggung jawab bersama — meski kadang harus dibayar dengan darah dan air mata.
Ridwan Syafrullah – Sumbar FYi































