Destinasi baru Bukik Ameh menarik perhatian publik, tapi transparansi pengelolaan hingga dampak lingkungan harus diawasi.
Padang, Sumatera Barat – Kabupaten Pesisir Selatan meluncurkan destinasi wisata baru di Nagari Ampang Pulai, Kecamatan Koto XI Tarusan, bernama Bukik Ameh, pada Sabtu, 4 Oktober 2025. Kawasan ini menawarkan panorama pasir keemasan menyerupai gurun, berpadu latar laut biru dan barisan pulau di kejauhan, sebuah kombinasi visual yang langsung viral.
Peresmian dilakukan oleh Penjabat Sekretaris Daerah Pesisir Selatan, Evafauza Yuliasman, mewakili kepala daerah, yang menegaskan bahwa Bukik Ameh bukan sekadar objek wisata, melainkan upaya membuka ruang ekonomi dan kreativitas komunitas setempat. Pihak pengelola mengusung konsep ecotourism, yakni keseimbangan antara rekreasi, edukasi, dan pelestarian alam.
Menurut data resmi dari Disparpora Pesisir Selatan, luas total kawasan mencapai 1.642 hektar, di mana 400 hektar dialokasikan sebagai kawasan perbukitan yang dalam rencana jangka panjang dapat dikembangkan lebih intensif, termasuk kemungkinan kawasan ekonomi khusus (KEK).
Meski ambisi pengembangan tinggi, sejumlah aspek penting perlu mendapat sorotan:
Kapasitas Daya Dukung Lingkungan
Belum ditemukan data publik mengenai jumlah maksimal pengunjung, sistem pengelolaan limbah, drainase, maupun mitigasi erosi pada area pasir keemasan yang rentan terganggu bila lalu lintas manusia meningkat.
Partisipasi dan Keberpihakan Komunitas Lokal
Apakah masyarakat setempat, terutama petani, nelayan, dan pemilik lahan benar-benar dilibatkan dalam pengambilan keputusan? Siapa yang menguasai lahan utama? Jangan sampai pembangunan ‘ikon wisata’ memperbesar ketimpangan lokal.
Konflik Kepentingan dan Risiko Komersialisasi
Jika sebagian kawasan akan dijadikan KEK, potensi komersialisasi bisa menekan fungsi konservasi dan mengubah karakter lokal. Apakah pengelola sudah mengantongi studi dampak lingkungan (AMDAL) transparan dan partisipatif?
Komitmen Jangka Panjang Pemerintah Daerah
Banyak proyek wisata lokal gagal berkelanjutan karena pengawasan minim, investasi sarana tak memadai, dan abainya pemeliharaan. Komitmen pemerintah dan alokasi anggaran rutin amat krusial agar Bukik Ameh tidak menjadi “monumen mangkrak”.
Bukik Ameh punya daya tarik luar biasa, media sosial pun sudah ramai menyorotnya, tetapi pesona alam semata tidak cukup jika aspek pengelolaan tidak matang. Media dan publik harus terus mengawal, menuntut transparansi, dan memastikan bahwa pembangunan tidak merugikan lingkungan dan masyarakat lokal.
sumbar.fyi akan terus memantau perkembangan kebijakan, dokumen lingkungan, dan realisasi pengelolaan Bukik Ameh. Kami mengundang pembaca untuk aktif berdiskusi: apakah Bukik Ameh menjadi kebanggaan baru Sumbar, atau sekadar proyek pariwisata yang menjanjikan glamor semu?