Padang, Sumbar.fyi — Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) merilis hasil kajian mengenai kondisi air di wilayah Ibu Kota Nusantara (IKN) dan sekitarnya, menunjukkan bahwa hanya 0,51 % dari wilayah tersebut memiliki ketersediaan air tinggi (high water). Sementara itu, zona vegetasi mencapai 20,41 %, dan 79,08 % wilayah tergolong non-air.
Peneliti dari Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN, Laras Toersilawati, menyatakan bahwa kondisi ini dapat memicu serangkaian risiko serius: menurunnya jumlah hari hujan, degradasi kualitas air (asam dan tercemar besi), serta tekanan tinggi terhadap kebutuhan air bersih, terutama jika IKN mulai padat penduduk.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, Laras mengusulkan beberapa langkah strategis, antara lain pembangunan embung dan bendungan, sistem “sponge city” untuk menyerap dan mengelola air hujan, serta konservasi lahan melalui reboisasi.
Sudut Pandang & Implikasi untuk Sumatera Barat
Walaupun IKN berada jauh di Kalimantan Timur, isu ketersediaan air ini memiliki pelajaran penting bagi Sumatera Barat — terutama di daerah-daerah dengan laju urbanisasi cepat dan perubahan tata guna lahan:
- Waspadai Dampak Alih Fungsi Lahan
Sumbar banyak mengalami penebangan hutan dan konversi lahan untuk pemukiman dan pertanian. Bila tidak diimbangi langkah konservasi, kita bisa menghadapi kondisi resapan air menipis, seperti yang sekarang dialami IKN. - Perlu Kajian Mandiri Lokal
Sumbar harus melakukan pemetaan ketersediaan air lokal secara mandiri (baik oleh universitas, lembaga riset, atau pemerintahan daerah) agar data tidak hanya bergantung pada satelit atau pihak luar. - Perencanaan Kota & Infrastruktur Air yang Visioner
Kota-kota di Sumbar — seperti Padang, Bukittinggi, Payakumbuh — perlu memprioritaskan tata kota ramah air: taman absorpsi, embung kecil di permukiman, saluran resapan, dan sistem pengelolaan air limbah yang baik. - Transparansi & Partisipasi Publik
Sama seperti BRIN mengandalkan data terbuka, pemerintah daerah di Sumbar harus melibatkan warga dan akademisi dalam setiap tahap perencanaan agar program air tidak menjadi ambisi tanpa kontrol.
Kronologi & Catatan Teknis
Kajian BRIN menggunakan metode Artificial Neural Network (ANN/JST) dengan data satelit Sentinel-2A, dan indikator spektral seperti LSWI, NDVI, NDWI.
Hasil menunjukkan hanya 0,51 % wilayah berstatus “air tinggi.”
Salah satu kritikan muncul dari aktivis lingkungan yang menyoroti bahwa pembangunan masif tanpa permodelan hidrologi jangka panjang dapat memperparah kerusakan ekosistem.
Temuan BRIN ini menjadi peringatan tajam bahwa pembangunan kota baru tidak bisa mengabaikan sumber kehidupan dasar: air. Sumbar harus mengambil pelajaran dan cepat membangun sistem pengelolaan air berkelanjutan agar tidak tertinggal dalam menghadapi tantangan iklim dan urbanisasi.