Padang – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan Sumatera Barat menemukan sejumlah permasalahan serius dalam pengadaan videotron senilai lebih dari Rp 10 miliar oleh Biro Umum Sekretariat Daerah Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) tahun anggaran 2024.
Proyek yang dilaksanakan oleh penyedia CV NB itu mencakup pemasangan videotron di lima lokasi berbeda dalam lingkungan Pemprov Sumbar:
Aula Utama Kantor Gubernur: Rp 2,5 miliar lebih
Aula Pola Kantor Gubernur: Rp 1,5 miliar lebih
Teras Kantor Gubernur: Rp 3,3 miliar lebih
Auditorium Gubernuran: Rp 1,3 miliar lebih
Istana Bung Hatta Bukittinggi: Rp 1,3 miliar lebih
Total nilai kontrak tercatat mencapai lebih dari Rp 10 miliar.
Dalam laporan hasil pemeriksaan, BPK mencatat bahwa produk LED-display videotron pada Auditorium Gubernuran dan Istana Bukittinggi tidak dapat diidentifikasi kesesuaiannya dengan merek serta sertifikat Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) 40% yang dijanjikan dalam penawaran.
Selain itu, produk yang terpasang di tiga lokasi lainnya juga tidak sesuai dengan merek yang tertera dalam penawaran awal, bahkan diduga merupakan produk non-TKDN.
BPK juga mencatat bahwa pemeriksaan barang oleh pejabat terkait (PPK, PPTK, penyedia, konsultan pengawas) hanya sebatas kuantitas dan visual umum sesuai Berita Acara Pemeriksaan No. 1033/BA-Pemeriksaan/XII/Umum-2024 tertanggal 27 Desember 2024, tanpa verifikasi merek dan sertifikat TKDN.
Permasalahan ini dinilai tidak mencerminkan ketentuan dalam Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 (pengganti Perpres 16/2018) yang menegaskan kewajiban penggunaan produk dalam negeri minimal 40% dalam pengadaan.
Menurut BPK, penyebab utama dari temuan tersebut adalah lemahnya pengendalian dan pengawasan oleh Kepala Biro Umum selaku Kuasa Pengguna Anggaran, serta ketidakpatuhan PPK dan PPTK dalam pelaksanaan pengadaan.
Sementara itu, pihak Pemprov Sumbar melalui Kepala Biro Umum menyatakan bahwa pelaksanaan pengadaan telah dilakukan sesuai prosedur pada tahap perencanaan dan pemilihan penyedia.
Dengan latar di Sumatera Barat, publik daerah tentu punya hak untuk menuntut transparansi penggunaan anggaran pemerintah provinsi yang bersumber dari APBD mereka. Peristiwa ini mengingatkan bahwa proyek besar di ranah pemerintahan tidak cukup hanya “berjalan”, tetapi harus dapat dipertanggungjawabkan secara teknis dan administratif.































