Penerapan program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Indonesia tengah diterpa gelombang krisis setelah ratusan anak keracunan, termasuk di Sumatera Barat. Sebaliknya, sistem pengelolaan makanan sekolah di Singapuraโdengan regulasi ketat dan peran swasta seperti SATSโjustru dianggap sebagai contoh tertib dalam penyediaan gizi anak mikro. Kasus-kasus keracunan MBG menjadi cermin kegagalan tata kelola negara yang belum belajar dari model sukses di kawasan.
Perbandingan Singapura vs Indonesia
Di Singapura, sekolah-sekolah tidak menjalankan program โMBG gratis untuk semuaโ, melainkan menyediakan layanan kantin dengan opsi makanan sehat. Program Healthy Meals in Schools menetapkan standar bahan, proporsi sayur, dan pembatasan gula garam.โ
Untuk anak dari keluarga tidak mampu, ada subsidi atau kredit makanan melalui skema bantuan pemerintah (MOE FAS).โ
Selain itu, beberapa sekolah bekerja sama dengan perusahaan katering profesional (misalnya SATS) untuk menjamin mutu dan konsistensi menu sehat.โ
Berbeda dengan itu, MBG di Indonesia dijalankan secara besar-besaran melalui Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di berbagai daerah, sering tanpa pengawasan ketat kualitas bahan, sanitasi dapur, serta prosedur distribusi.
Data dan Kasus Keracunan MBG
JPPI mencatat bahwa hingga 4 Oktober 2025, total korban keracunan MBG di Indonesia telah mencapai 10.482 anak, termasuk penambahan 122 korban di Sumatera Barat.โ
Di Sumbar, kasus keracunan massal tercatat di Agam, dengan siswa dari TK hingga SMA mengalami muntah, pusing, sakit perut usai menyantap nasi goreng dari dapur SPPG setempat.โ
Pemerintah daerah telah menghentikan operasi dapur SPPG sementara dan menetapkan kejadian sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB).โ
Pandangan Pakar & Tantangan Teknis
Pakar kesehatan dari Universitas Andalas (Unand) menyebut keracunan kemungkinan tidak disengaja, melainkan akibat keterbatasan kapasitas pengelola dalam menangani volume besar, ketidakbersihan, dan kurangnya kontrol mutu.โ
Pakar UNP menambahkan bahwa idealnya setiap sekolah memiliki dapur sendiri dengan pengawasan reguler dari dinas terkait, supaya peluang kontaminasi dapat diminimalkan.โ
Namun, tantangan terbesar memang sistem: anggaran besar tanpa mekanisme transparansi dan akuntabilitas, sementara korporasi katering swasta atau lembaga profesional belum dijadikan mitra utama dalam implementasi MBG secara merata.
Kaitkan dengan Identitas Minang & Pelajaran Lokal
Sebagai catatan menarik untuk masyarakat Sumbar, presiden pertama SingapuraโYusof bin Ishakโdiketahui memiliki darah Minangkabau.โ Itu menyiratkan bahwa kita tidak butuh meniru negeri jauh tanpa memperkuat sistem lokal sendiri. Jika negeri โSeribu Larasโ bisa menegakkan standar berkualitas dalam tata kelola publik, Sumbar pun harus bisa menyusun sistem lokal MBG yang berkeadaban dan aman.
Kasus keracunan MBG di Sumatera Barat bukan hanya kegagalan teknisโia adalah alarm bahwa program sosial harus dibangun dari integritas pengelolaan. Belajar dari tata kelola makanan sekolah di Singapura memberi kita gambaran bahwa visi sosial harus dibarengi kapasitas institusional dan pengawasan yang kuat. Anak-anak tidak boleh menjadi eksperimen kebijakan yang belum matang.