Hujan lebat yang mengguyur sejumlah wilayah di Sumatera Barat mendorong terjadinya banjir dan longsor yang melanda 13 kabupaten/kota, memaksa ribuan warga untuk dievakuasi. Insiden ini memperlihatkan kerentanan daerah terhadap perubahan cuaca ekstrem dan tata kelola risiko bencana yang masih menghadapi tantangan serius.
Berdasarkan laporan awal, air sungai meluap dan tanah di lereng-lereng mengalami geseran massa hingga jalan penghubung tertutup longsor. Evakuasi dilakukan secara mendesak oleh tim penanggulangan bencana di beberapa lokasi. Warga pun memilih meninggalkan rumah meskipun kerugian material belum sepenuhnya dipetakan.
Kepala instansi terkait menyebut ratusan rumah terdampak air hingga atap, sedangkan infrastruktur pendukung seperti akses jalan menuju sekolah dan pusat kesehatan turut rusak. Meski angka pasti belum dipublikasikan secara resmi, sumber lapangan menyebut jumlah pengungsi mencapai ribuan jiwa, tersebar di tempat penampungan sementara. Warga di daerah pesisir dan lembah Sumbar merasa baru menghadapi gelombang bencana kedua dalam tahun ini.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan penting: apakah pemerintah provinsi dan kabupaten/kota sudah menyiapkan sistem peringatan dini dan mitigasi yang memadai? Pengalaman lokal menegaskan bahwa aktivitas manusia di kawasan rawan longsor dan banjir—termasuk pengembangan pemukiman di lereng—memperparah dampak. Maka, bukan hanya soal kejadian alam, tapi juga risiko yang membesar karena faktor manusia.
Peristiwa ini menjadi refleksi bagi masyarakat Sumatera Barat bahwa dampak iklim ekstrem bukan sekadar statistik nasional. Di ranah lokal, kehidupan sehari-hari warga, pertanian, dan akses layanan publik terancam setiap musim hujan. Menyikapi hal ini, penguatan kapasitas tanggap bencana, penataan ruang yang bijak, dan edukasi masyarakat mesti jadi bagian tak terpisahkan dari strategi keberlanjutan.































