Padang — Festival Nan Jombang Tanggal 3 yang digelar Jumat (3/10/2025) malam kembali menghadirkan karya yang memancing tafsir baru. Kali ini, giliran Balimau garapan Filhamzah dan Sanggar Cahayo Bundo yang dipentaskan di Ladang Tari Nan Jombang, Padang.
Secara tradisi, balimau di Minangkabau adalah ritual tahunan menyambut Ramadan: mandi, membersihkan diri, menjalang keluarga, hingga ziarah kubur. Namun di atas panggung, balimau justru dipelintir menjadi sindiran keras. Dalam gerak tubuh para penari, “mandi” bukan lagi urusan air dan bunga, melainkan metafora untuk mencuci dosa sosial-politik.
“Tradisi sudah berjalan, tapi apa maknanya kalau perilaku kita tetap sama? Saya hanya mengingatkan dengan bahasa tubuh,” ujar Filhamzah.
Balimau sebenarnya bukan kali pertama tampil. Tahun lalu karya ini sudah dipresentasikan di Galeri Indonesia Kaya, Jakarta, mendapat perhatian publik urban yang terbiasa melihat tradisi dalam bingkai kontemporer. Kini, kembali di kampung halaman, Balimau seolah menantang: sanggupkah masyarakat Minangkabau menerima tafsir baru atas tradisi yang selama ini dianggap sakral?
Direktur Festival Nan Jombang, Angga Mefri, menyebut karya ini penting karena tidak berhenti pada estetika. “Di sini, tradisi bukan untuk dipajang. Ia dipertanyakan, bahkan dikritik. Itu sejalan dengan visi festival,” ujarnya.
Sejak 2013, Festival Nan Jombang Tanggal 3 hadir setiap bulan sebagai ruang alternatif bagi seniman independen. Tanpa lampu gemerlap atau panggung megah, festival ini konsisten menyajikan karya yang kerap menohok.
Balimau kali ini jelas bukan tontonan yang nyaman. Gerak tubuh penari merepresentasikan pejabat yang rajin bicara moral tapi doyan bermain kuasa, politisi yang fasih bicara rakyat tapi sibuk menjaga kursi, bahkan masyarakat biasa yang ikut-ikutan menjalani ritual tanpa pernah benar-benar membersihkan diri.
Kritik semacam ini bukan baru. Catatan Tempo (2024) sudah menyinggung kecenderungan tradisi di Sumatera Barat yang direduksi menjadi seremoni tanpa substansi. Kompas dalam laporan khususnya bahkan menyebut ada “defisit moral” di balik gemerlap festival budaya daerah. Balimau di panggung seolah menghidupkan kritik itu dengan cara yang lebih langsung: lewat tubuh yang menari.
Pertunjukan yang dimulai pukul 20.00 WIB ini terbuka gratis untuk publik. Penonton yang hadir tidak hanya disuguhi tari, tetapi juga refleksi: apakah tradisi masih jadi jalan menuju kebersihan batin, atau hanya ritual tahunan yang berhenti pada simbol?
Satu hal yang pasti, Balimau di Ladang Tari Nan Jombang bukan sekadar hiburan. Ia adalah pengingat getir bahwa mandi kembang bisa dilakukan siapa saja, tapi mencuci hati—itu pekerjaan yang jauh lebih berat. (Andre Pratama)