Jakarta — Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menanggapi beredarnya meme dirinya di media sosial.
Dalam berbagai unggahan, sosoknya dijadikan bahan olok-olok, dari gaya bicara hingga latar sosialnya.
Namun, Bahlil menegaskan bahwa hal tersebut bukan hal baru baginya.
“Saya sudah biasa dihina sejak SD. Ibu saya tukang cuci, bapak saya buruh bangunan,” katanya seperti dikutip dari Detik News (12/10/2025).
Meski demikian, ia menarik garis tegas: kritik personal boleh saja, tetapi intervensi terhadap kebijakan negara adalah hal lain.
“Saya tidak mau ada pihak yang mencoba mendorong keinginannya untuk mengintervensi kebijakan negara. Itu saya tidak mau,” ujar Bahlil.
Bahlil lahir di Banda, Maluku Tengah, dan dibesarkan di Fakfak, Papua Barat.
Kisah hidupnya yang berangkat dari keluarga sederhana sering ia gunakan untuk menegaskan bahwa jabatan publik bukan soal asal-usul, tapi tanggung jawab.
Kasus meme ini menyoroti batas kabur antara kebebasan berekspresi dan serangan personal.
Di tengah derasnya budaya digital, banyak kritik kehilangan substansi dan berubah menjadi ejekan visual — membuat publik lupa pada substansi kebijakan itu sendiri.
Bagi masyarakat di Sumatera Barat, isu ini terasa relevan.
Kritik terhadap pejabat publik adalah bagian dari demokrasi, tapi ketika ruang digital dipenuhi cemooh dan fitnah, diskusi publik kehilangan arah.
Kritik tanpa data hanya melahirkan kebisingan, bukan perubahan.
Bahlil menutup dengan nada ringan tapi bermakna:
“Saya santai saja. Tapi kalau sudah menyangkut kebijakan negara, itu soal tanggung jawab saya.”
Pernyataan itu menjadi pengingat bahwa pejabat publik boleh ditertawakan, tapi kebijakan publik tak boleh diintervensi oleh narasi yang dangkal di media sosial.































