Padang – Ribuan tenaga honorer di wilayah Sumatera Barat kini menghadapi dinamika baru: pengangkatan menjadi pegawai dengan status PPPK Paruh Waktu membawa dua hal penting—kejelasan hak dan kewajiban baru, serta kepastian penghasilan yang sebelumnya tak dimiliki.
Berdasarkan regulasi KepmenPAN RB No. 16/2025, upah PPPK paruh waktu “paling sedikit” sebesar honor terakhir saat berstatus non-ASN atau sesuai dengan upah minimum di wilayah bersangkutan.
Artinya, secara hukum tenaga honorer yang dialih-status tidak boleh menerima gaji lebih rendah dari masa honorer. Beberapa laporan bahkan menyebut gaji PPPK paruh waktu lebih besar dibanding gaji honorer sebelumnya.
Di Kota Padang misalnya, walau belum semua formasi dikonfirmasi, Pemerintah Kota mengajukan 127 honorer ke skema PPPK paruh waktu. Gaji yang disesuaikan dengan gaji sebelumnya—Rp 600 ribu hingga Rp 1,4 juta—menjadi acuan sementara.
Kendati demikian, beberapa catatan penting tetap harus diperhatikan:
Masa kontrak PPPK paruh waktu sering hanya satu tahun, sehingga kepastian jangka panjang masih dipertanyakan.
Implementasi di daerah seperti Sumatera Barat harus menyesuaikan dengan anggaran daerah (APBD) dan dukungan regulasi pusat-daerah agar tidak terjadi keterlambatan pembayaran atau penurunan manfaat.
Trend nasional menunjukkan wacana bahwa pembayaran gaji ASN dan PPPK regional dapat menjadi beban baru bagi APBD daerah yang sedang tertekan.
Dari perspektif Sumatera Barat, skema ini memiliki dua sisi: di satu pihak memperkuat pengakuan dan profesionalitas honorer yang selama ini bekerja tanpa status formal; di lain pihak, daerah dengan anggaran terbatas harus memastikan skema ini benar-benar berjalan dan tidak menimbulkan ketidakpastian.
Sebagai penutup, pengalihan status honorer ke PPPK paruh waktu merupakan langkah maju dalam urusan birokrasi dan kesejahteraan pegawai di Sumbar. Namun realisasinya harus diawasi dengan cermat agar janji gaji layak tidak berubah jadi beban baru bagi pegawai dan daerah.































