Mentawai — Izin masuknya PT Sumber Permata Sipora (SPS) di Pulau Sipora, Kabupaten Kepulauan Mentawai, kini menjadi sorotan tajam masyarakat lokal. Di satu sisi, izin mengklaim membawa investasi; tapi di sisi lain, warga melihat risiko besar terhadap ekosistem dan mata pencaharian mereka.
Masyarakat menolak karena masuknya perusahaan kayu ini diprediksi akan mengganggu budidaya toek—hewan moluska air payau yang selama ini menjadi sumber penghasilan warga di Sungai Saureinu. Rita, salah satu warga, menyebut bahwa dulu ia bisa menjual toek hingga Rp 400.000 sehari.
Namun kini sungai makin keruh dan kualitas toek menurun, meredupkan harapan mereka.
Tak hanya itu, ketergantungan masyarakat adat terhadap hutan dan ekosistem sirkular akan terancam. Amalnya, izin di hulu dapat mempercepat sedimentasi yang merusak mangrove dan terumbu karang.
Di wilayah pesisir seperti Pantai Katiet dan Desa Bosua, wisata selancar pun bisa menurun. Kepala Desa Bosua, Irman Jhon, menyebut bahwa lumpur dari hulu akan “lari ke laut” dan merusak pasir pantai serta daya tarik visual laut.
Pihak perusahaan SPS merespons bahwa mereka akan bekerja berdasarkan Amdal, dengan penebangan selektif—misalnya membatasi kayu berdiameter besar dan mengklaim akan mengawasi dampaknya.
Sementara itu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Sumbar, Tasliatul Fuadi, menyebut izin diberikan dengan catatan pengawasan dan keterlibatan masyarakat dalam pengawasannya.
Izin perusahaan kayu di Sipora seharusnya tak dipandang sebagai jalan pintas investasi. Jika ekosistem dan kesejahteraan warga dijadikan korban, maka izin itu bukan “solusi” melainkan bom waktu sosial-ekologis. Pengawasan ketat dan partisipasi warga harus jadi poin utama—bukan sekadar janji “penebangan selektif.”