PADANG, sumbar.fyi– Di rumah dinas Gubernur Sumatera Barat yang berdiri megah di pusat Kota Padang, Mahyeldi Ansharullah menjalani hari dengan cara yang sederhana. Di sela padatnya agenda, ia kerap mengulang satu kalimat yang menjadi penanda karakter kepemimpinannya.
“Jika kritik itu saya, maka akan saya perbaiki. Jika bukan, akan jadi pembelajaran,” ujarnya dalam beberapa kesempatan.
Kalimat itu menggambarkan sosok Mahyeldi—tenang, sabar, dan jarang bereaksi keras terhadap kritik. Namun di balik ketenangan itu, kepemimpinannya dan partai yang menaunginya, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), sedang berada dalam sorotan publik.
Dari Anak Tukang Becak ke Kursi Gubernur
Mahyeldi lahir di Bukittinggi pada 25 Desember 1966 dari keluarga sederhana. Ayahnya, Mardanis, bekerja sebagai tukang becak, sementara ibunya, Nurmi, mengurus rumah tangga. Hidup dalam keterbatasan ekonomi membuat Mahyeldi kecil terbiasa bekerja sejak usia sekolah dasar.
Ketekunan dan kedisiplinan membawanya hingga ke Universitas Andalas, tempat ia menempuh pendidikan tinggi di bidang pertanian. Di kampus inilah Mahyeldi aktif dalam berbagai kegiatan dakwah Islam, yang kelak menjadi fondasi ideologisnya di dunia politik.
Perjalanan politiknya dimulai di Partai Keadilan (kini PKS). Ia terpilih menjadi anggota DPRD Sumatera Barat periode 2004–2009, lalu menjabat Wakil Wali Kota Padang (2009–2014), Wali Kota Padang (2014–2019 dan 2019–2021), hingga akhirnya dilantik menjadi Gubernur Sumatera Barat pada 2021.
Pada Pilkada 2024, ia kembali memenangi kontestasi bersama Vasko Ruseimy untuk masa jabatan 2025–2030.
Kritik yang Tak Pernah Berhenti
Sejak awal menjabat gubernur, Mahyeldi tidak lepas dari kritik. Sebagian masyarakat menilai kebijakannya berjalan lambat dan kurang komunikatif. Kritik juga datang dari kalangan akademisi yang menyoroti lemahnya inovasi kebijakan di bawah kepemimpinannya.
Meski demikian, Mahyeldi tidak pernah bereaksi keras terhadap serangan politik. Ia tetap konsisten dengan gaya kepemimpinannya yang santun dan cenderung menghindari konfrontasi.
Sikap itu di satu sisi dianggap mencerminkan kedewasaan berpolitik, tetapi di sisi lain dinilai terlalu pasif menghadapi dinamika pemerintahan modern yang menuntut ketegasan dan respons cepat.
Beberapa kalangan menyebut Mahyeldi terlalu “ustaz-oriented” — lebih menekankan aspek moral dan pembinaan ketimbang kerja birokrasi yang efisien. Dalam konteks ini, gaya kepemimpinannya sering dibandingkan dengan model teknokratik yang kini menjadi tren di banyak daerah.
PKS dan Zona Nyaman Kekuasaan
Kritik terhadap Mahyeldi sering melebar ke partai yang menaunginya, PKS. Partai ini telah menjadi kekuatan politik dominan di Sumatera Barat selama hampir dua dekade. Namun di balik dominasinya, muncul pandangan bahwa PKS mulai kehilangan energi sosial yang dulu membuatnya dicintai masyarakat.
PKS dikenal memiliki jaringan kader dan relawan yang aktif di bidang sosial dan kemanusiaan. Mereka cepat turun tangan saat bencana atau krisis terjadi. Namun di luar momentum itu, kehadiran partai dinilai mulai berjarak dengan masyarakat.
“PKS seperti hidup di ruangnya sendiri,” ujar seorang akademisi politik Universitas Negeri Padang. “Mereka punya struktur yang rapi, tapi kurang membuka diri terhadap aspirasi masyarakat luas.”
Fenomena ini membuat sebagian kalangan menilai PKS terlalu nyaman dengan kekuasaan. Mereka tetap kuat secara elektoral, tetapi mulai kehilangan kedekatan emosional dengan publik muda dan kelompok nonideologis yang kini menjadi penentu suara.
Kepemimpinan yang Tersandera Simbol
Sebagai kader tulen PKS, Mahyeldi tampil sebagai sosok yang merepresentasikan nilai-nilai partai: religius, bersih, dan sederhana. Namun di tengah tuntutan zaman, citra tersebut tidak selalu berbanding lurus dengan kebutuhan publik.
Banyak kebijakan pemerintah provinsi yang dinilai berjalan lambat, khususnya dalam aspek pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan ekonomi digital. Mahyeldi dianggap terlalu berhati-hati, bahkan cenderung birokratis dalam mengambil keputusan.
Meski demikian, ia tidak kehilangan pendukungnya. Di banyak daerah, terutama kalangan religius dan masyarakat pedesaan, sosok Mahyeldi masih dianggap simbol keteladanan.
“Pak Mahyeldi itu orang baik. Tapi orang baik belum tentu pemimpin yang kuat,” kata salah seorang pedagang di Padang.
Sumatera Barat di Persimpangan
Sumatera Barat kini berada dalam situasi yang unik. Di satu sisi, daerah ini tetap dikenal dengan karakter religius dan nilai-nilai adat yang kuat. Di sisi lain, generasi mudanya menuntut perubahan dan inovasi yang lebih cepat.
Dalam konteks ini, gaya kepemimpinan Mahyeldi yang lembut dan penuh nasihat sering kali tidak sinkron dengan ekspektasi publik yang ingin melihat birokrasi lebih terbuka, digital, dan progresif.
Sementara PKS, partai yang selama ini menjadi rumah politik utama Mahyeldi, dinilai masih terjebak pada narasi moralitas dan eksklusivitas kader. Padahal, masyarakat semakin menilai partai politik dari hasil nyata, bukan hanya citra kesalehan.
Menjawab Kritik dengan Tenang
Meski kritik datang silih berganti, Mahyeldi tetap menjaga gaya komunikasinya yang tenang. Ia tidak membantah keras, tidak pula membenarkan semua tudingan.
“Bagi saya, kritik itu penting,” ujarnya dalam satu wawancara. “Kritik adalah cermin. Jika benar, maka saya akan memperbaiki. Jika tidak, biarlah menjadi pelajaran.”
Sikap itu membuatnya tetap dihormati, bahkan oleh lawan politiknya. Namun di tengah apresiasi terhadap kepribadiannya, pertanyaan lebih besar tetap menggantung: apakah kesantunan cukup untuk menggerakkan birokrasi yang kompleks?
Tantangan Lima Tahun ke Depan
Masa jabatan kedua Mahyeldi bersama Vasko Ruseimy akan menjadi ujian penting. Publik menanti pembaruan gaya kepemimpinan dan arah kebijakan yang lebih konkret.
Beberapa isu strategis menanti: ketimpangan antarwilayah, penguatan ekonomi lokal, digitalisasi pelayanan publik, serta pembenahan tata kelola pendidikan dan pertanian.
Sumatera Barat juga menghadapi tantangan politik yang tidak ringan. Dominasi PKS di tingkat provinsi mulai mendapat penantang dari partai lain yang menawarkan wajah baru dan pendekatan yang lebih populis.
Jika tidak beradaptasi, baik Mahyeldi maupun PKS berisiko kehilangan momentum historis yang telah mereka bangun selama dua dekade terakhir.
Kesalehan dan Keberanian
Mahyeldi mungkin bukan pemimpin dengan gebrakan besar, tetapi ia konsisten menjaga integritas dan kesederhanaan—dua hal yang semakin langka di dunia politik. Namun, di era politik modern yang menuntut inovasi, keberanian mengambil keputusan menjadi sama pentingnya dengan kesalehan moral.
Dalam hal ini, Sumatera Barat membutuhkan pemimpin yang tidak hanya bersih, tetapi juga berani keluar dari zona nyaman partainya.
Apakah Mahyeldi siap untuk itu? Waktu akan menjawab. Namun satu hal pasti, sejarah tidak menulis tentang niat baik, melainkan tentang perubahan nyata yang dirasakan masyarakat.
Editor: [Azzam]
Penulis: [Alung]