Sebanyak 20 pejabat dari eselon II–IV digeser dalam mutasi gelombang kedua; publik mempertanyakan transparansi dan objektivitas prosesnya.
Bukittinggi — Pemerintah Kota Bukittinggi kembali melaksanakan mutasi pejabat dalam skala besar. Jumat (3 Oktober 2025), sebanyak 20 pejabat dari tingkat eselon II, III, dan IV resmi dilantik dan digeser dalam struktur birokrasi kota.
Wali Kota Bukittinggi, Ramlan Nurmatias, menegaskan bahwa mutasi ini adalah bagian dari upaya memperkuat organisasi pemerintahan agar tetap dinamis dan profesional. Ia menyebut bahwa pejabat baru akan dievaluasi dalam kurun waktu 6 bulan, dan bisa saja digeser kembali jika kinerjanya tidak memuaskan.
“Kita bekerja dengan aturan. Bisa saja yang sudah diangkat kembali digeser. Itu tergantung evaluasi kinerja. Semua harus profesional,” kata Wali Kota saat memimpin pelantikan.
Ia juga menyebut bahwa 15 hari ke depan akan ada mutasi lanjutan, guna mengisi jabatan kosong dan menyegarkan struktur pemerintahan.
Mutasi tahap ini mencakup perpindahan beberapa nama penting:
Ramli Andrian menjadi Kadis Kesehatan
Johnni menjabat Kepala Disdukcapil
Emil Achir diangkat sebagai Staf Ahli Bidang Pemerintahan, Hukum dan Politik
Selain itu 17 pejabat lain di posisi kepala bidang, sub bagian, hingga lurah juga terkena rotasi.
Latar Mutasi & Riwayat Sebelumnya
Sebelumnya, pada periode awal kepemimpinan Ramlan, 24 pejabat (eselon III dan IV) sudah dimutasi dalam gelombang pertama. Langkah ini diklaim sebagai bagian dari evaluasi menyeluruh untuk memastikan pejabat mampu bekerja sesuai visi-misi pemerintahan baru.
Dalam mutasi kali ini, Pemkot juga menerapkan proses job fit untuk pejabat eselon II dengan melibatkan panitia seleksi yang disetujui oleh Badan Kepegawaian Negara (BKN).
Mutasi secara berkala memang diperlukan untuk menjaga birokrasi tetap responsif. Namun, sejumlah pihak mengingatkan agar proses penilaian kinerja berjalan adil, terbuka, dan berbasis data — bukan sekadar alat untuk merotasi pejabat tanpa dasar objektif.
Dalam pengalaman di beberapa daerah, mutasi kerap digunakan sebagai alat politik lokal untuk menyingkirkan pejabat yang tidak “selaras” dengan kepala daerah. Tanpa mekanisme transparan, evaluasi 6 bulan bisa menjadi ancaman bagi pejabat yang dianggap kurang lega dari tekanan.
Apakah evaluasi 6 bulan cukup waktu untuk menilai kinerja seorang pejabat?
Siapa yang paling diuntungkan atau dirugikan di balik gelombang mutasi ini?
Bagaimana publik bisa ikut mengawasi agar mutasi tidak menjadi alat politik pinggiran?