Sumbar.fyi, Padang — Program Zero Pasung di Sumatera Barat kembali menjadi sorotan. Meski pemerintah provinsi telah mengucurkan dana hibah sebesar Rp3 miliar guna mendukung operasional panti rehabilitasi Yayasan Pelita Jiwa Insani, masih banyak pihak menyoroti bahwa realisasi manfaatnya belum menyentuh mereka yang paling membutuhkan.
Kasus Rehabilitasi Terlantar
Salah satu contoh paling nyata terjadi di Kabupaten Solok. Permohonan rehabilitasi sosial atas nama Yusti Said sudah diajukan sejak 4 Mei 2025 melalui surat rekomendasi bernomor 400/200/Dinsos-2025 yang ditandatangani Sekda Solok, Medison. Pemerintah kabupaten meminta agar Yusti difasilitasi pengobatan di Panti Pelita Jiwa Insani. Hingga kini, belum ada tindakan signifikan terhadap permohonan tersebut.
Pernyataan Birokrasi dan Inkonsistensi
Saat dikonfirmasi, Sekretaris Dinsos Sumbar, Suyanto, menyatakan bahwa disposisi kasus sudah dikirim ke bidang rehabilitasi sejak Juni, namun “Bu Heni minta dibuat surat baru.” Pernyataan ini bertabrakan dengan klaim bahwa permasalahan terjadi karena miskomunikasi antara Dinsos Solok dan panti sosial.
Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa birokrasi di instansi sosial masih terbebani ketidakseriusan dalam penanganan kasus orang paling lemah. Apalagi ketika institusi sama-sama bagian dari lingkup pemerintah provinsi.
Konteks dan Tantangan Program Zero Pasung
Program Zero Pasung bertujuan membebaskan ODGJ dari praktik pemasungan dan menjamin hak rehabilitasi sosial mereka. Panti Pelita Jiwa Insani sendiri baru-baru ini meresmikan gedung baru rehabilitasi jiwa di Padang sebagai wujud dukungan terhadap visi tersebut.
Namun kritik muncul dari kalangan advokasi kesehatan mental bahwa pendekatan program masih terlalu terfokus pada aspek medis (RS, panti) tanpa memperkuat aspek sosial, pencegahan stigma, dan layanan berbasis komunitas.
Di sisi lain, contoh dari Jawa Timur menunjukkan bahwa meskipun telah mengimplementasikan program bebas pasung, masih terdapat ratusan kasus yang belum diatasi secara tuntas hingga 2024.
Dampak pada Citra Pemprov dan Kepemimpinan Sosial
Kasus Yusti Said menjadi cermin; publik pun mulai mempertanyakan keseriusan Wakil Gubernur Vasko Ruseimi dalam masalah sosial ini. Jika dana miliaran sudah dialokasikan tanpa hasil konkret di level akar, maka “komitmen sosial” bisa dianggap sebagai retorika belaka.
Menurut tokoh masyarakat Solok, Dr. Adli, kegagalan mengurus kasus seperti ini merupakan pertanda lemahnya leadership birokrasi di bidang sosial. Ia menegaskan bahwa kebijakan besar yang tidak menjangkau rakyat kecil justru memicu skeptisisme publik.
Kesimpulan dan Rekaman Tindak Lanjut
Kasus ini menunjukkan bahwa pencairan dana besar saja tidak cukup tanpa mekanisme pengawasan, akuntabilitas, dan keterlibatan masyarakat di level lokal. Untuk membuktikan bahwa Zero Pasung bukan sekadar slogan, pemerintahan provinsi harus membuka data penggunaan hibah, melakukan audit sosial, dan memastikan bahwa bantuan sampai ke orang yang paling membutuhkan — termasuk di Solok.
Publik kini menanti: apakah Wagub Vasko akan mengambil langkah nyata—bukan citra—untuk membuktikan bahwa janji sosial bukan karya politik yang kosong, melainkan aksi yang bisa dirasakan langsung.