Padang – Universitas Negeri Padang (UNP) kembali menjadi sorotan publik. Statusnya sebagai Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH), yang semestinya memperkuat otonomi akademik dan transparansi manajerial, kini justru diwarnai kritik soal dominasi kekuasaan.
Nama Rektor UNP dua periode, Prof. Ganefri, Ph.D., disebut-sebut mengendalikan penuh arah kebijakan kampus. Narasi yang berkembang di kalangan dosen dan mahasiswa menyinggung fenomena “matahari kembar”, di mana setiap figur yang mencoba tampil dianggap mengganggu orbit kekuasaan yang sudah mapan.
Sejumlah sumber internal menyebut, jabatan strategis diisi oleh orang-orang dekat rektor. Posisi dekan, ketua lembaga, hingga pejabat proyek kampus dikabarkan lebih banyak ditentukan oleh kedekatan, bukan murni kapasitas akademik. “Kalau bukan bagian dari lingkaran, jangan harap dapat posisi,” kata seorang dosen yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Secara normatif, status PTN-BH memberi ruang kebebasan dalam pengelolaan, termasuk manajemen keuangan dan kerja sama dengan pihak luar. Namun, dalam praktik, otonomi tersebut justru memunculkan kritik baru. Alokasi proyek pembangunan, tender fasilitas, hingga pengelolaan kerja sama dinilai belum sepenuhnya transparan.
Kondisi itu membuat sebagian akademisi muda memilih diam. Menyuarakan kritik dinilai berisiko pada karier akademik. Beberapa dosen yang vokal melaporkan mengalami pengucilan: tidak lagi dilibatkan dalam kegiatan strategis atau terhambat kenaikan jabatan fungsional. “Ini kampus, bukan kerajaan. Tapi suasananya makin terasa feodal,” kata seorang staf senior.
Fenomena “matahari kembar” sejatinya bukan hal baru di dunia kampus. Transparency International Indonesia dalam beberapa laporannya menyoroti praktik patronase, nepotisme, hingga konsolidasi kuasa di sejumlah perguruan tinggi negeri. Isu ini kerap melekat pada sistem PTN-BH yang membuka ruang besar bagi elite akademik mengatur arah institusi tanpa mekanisme kontrol yang kuat.
Bagi sebagian kalangan, fenomena ini menjadi paradoks. Kampus yang seharusnya menjadi ruang bebas berpikir justru berubah menjadi panggung politik internal. Ganefri, sebagai figur sentral, dipersepsikan bukan hanya sebagai rektor, melainkan matahari utama yang sinarnya kerap membakar potensi bintang lain di sekitarnya.
Pertanyaan publik pun menguat: apakah UNP masih menjadi rumah ilmu pengetahuan yang sehat dan demokratis, atau telah bergeser menjadi arena kekuasaan segelintir elit akademik?
Hingga berita ini diturunkan, pihak UNP belum memberikan tanggapan resmi terkait isu dominasi rektorat maupun tudingan praktik nontransparansi dalam pengelolaan kampus. Namun, dinamika yang terjadi menandai pentingnya evaluasi terhadap praktik tata kelola PTN-BH, agar kampus tidak kehilangan jati dirinya sebagai ruang produksi ilmu pengetahuan.