Sumbar.fyi – Bukti baru dari citra satelit periode Juni 2021–Juli 2025 mengungkap bahwa kayu gelondongan yang muncul pascagalodo di kawasan DAS Aia Dingin merupakan hasil penebangan sistematis, bukan kayu tumbang alami. Temuan ini disampaikan oleh WALHI Sumbar saat meninjau bentang lahan hulu daerah aliran sungai yang menjadi tulang punggung suplai air Kota Padang.
Menurut Divisi Hukum dan Lingkungan WALHI, ada “puluhan titik pembukaan lahan dan penebangan kayu” tepat di punggungan hulu DAS Aia Dingin. Pola pembukaan lahan berarah dari hulu ke hilir, hingga menuju muara Pantai Air Tawar — lokasi tumpukan kayu pascagalodo ditemukan.
Lebih jauh, overlay citra dengan peta kawasan hutan menunjukkan bahwa beberapa titik penebangan berada di dalam kawasan terlarang: kawasan konservasi, suaka margasatwa, dan kawasan hutan lindung. Ada pula jalan logging yang memotong kawasan lindung — bukti pembukaan akses secara sengaja, bukan dampak alam.
Hasil telaah “before–after” menunjukkan perubahan bentang lahan drastis dalam rentang empat tahun: bukaan lahan baru mencapai ratusan hektar, tumpukan kayu terorganisir (stockpile), serta jejak jalan angkut hasil pembalakan. Citra dari 27 Juli 2025 mengonfirmasi puluhan titik penebangan aktif dan kayu siap angkut di sepanjang punggungan hulu.
Temuan ini bertentangan dengan klaim resmi bahwa kayu gelondongan yang terbawa arus hanyalah “hasil tumbang alami pascagalodo”. Pernyataan itu dianggap gagal menjelaskan jejak sistematis yang terdeteksi secara spasial.
Kondisi hulu DAS Aia Dingin penting bagi stabilitas ekologis dan mitigasi bencana di Sumatera Barat. Jika kawasan ini terus dirusak, risiko banjir bandang dan longsor di Padang dan wilayah sekitarnya akan semakin besar. WALHI Sumbar mendesak pemerintah daerah segera mengaudit seluruh titik penebangan, menghentikan alih fungsi lahan di zona lindung, dan menindak pelaku pembalakan ilegal.
Kerusakan lingkungan bukan hanya soal kayu hilang. Ia juga menandakan bahwa benteng alam yang seharusnya menjaga keselamatan warga — sungai, hutan, dan daerah resapan air — kini melemah. Publik Sumatera Barat pantas mendapat kejelasan.































