“Selamat Ulang Tahun ke-80 Provinsi Sumatera Barat.” Begitu kira-kira ucapan yang ramai dipasang di baliho dan spanduk sepanjang jalan. Di balik semarak perayaan itu, angka-angka yang dipamerkan juga tidak kalah gagah: ekonomi tumbuh 3,94 persen, kemiskinan turun dari 5,97 persen ke 5,35 persen, pengangguran menipis 0,1 persen, ekspor melonjak 36,96 persen, dan kunjungan wisatawan asing naik 29 persen. Angka-angka ini terdengar indah, seperti sebuah puisi pembangunan. Tetapi jika ditarik ke dapur rumah warga, ceritanya bisa berubah jadi satir.

Ekonomi memang tumbuh. BPS mencatat PDRB Sumbar mencapai Rp88,26 triliun pada triwulan II 2025, naik 3,94 persen dibanding tahun lalu. Namun jika dibandingkan dengan kuartal sebelumnya, ekonomi justru mengalami kontraksi 0,01 persen. Kue ekonomi memang membesar, tetapi tidak semua orang kebagian potongan. Kota besar seperti Padang dan Bukittinggi mendominasi, sementara kabupaten di pedalaman masih gigit jari. Jadi jangan heran kalau pertumbuhan ekonomi hanya terasa di pusat perbelanjaan kota, sementara di pasar nagari harga cabe lebih sering bikin warga menjerit ketimbang tersenyum.
Kemiskinan juga disebut turun. Dari 5,97 persen menjadi 5,35 persen, setara dengan 312 ribu jiwa. Tetapi ada catatan kecil: di perkotaan kemiskinan memang berkurang, dari 4,16 persen menjadi 3,91 persen. Namun di pedesaan justru naik, dari 6,79 persen menjadi 6,93 persen. Dengan kata lain, angka rata-rata turun karena kota lebih dominan, tetapi di desa realitasnya malah makin berat. Ironisnya, garis kemiskinan juga naik. Pada Maret 2025, BPS menetapkan Rp729 ribu per bulan sebagai batas miskin. Artinya, orang yang berpenghasilan Rp730 ribu sebulan secara statistik tidak lagi masuk kategori miskin, padahal secara logika masih berjuang keras untuk sekadar bertahan hidup.
Begitu juga dengan pengangguran. Klaimnya turun tipis, dari 5,79 persen ke 5,69 persen. Secara statistik memang benar, tetapi penurunan 0,1 persen nyaris tidak terasa di lapangan. Anak-anak muda tetap memenuhi warung kopi sambil sibuk dengan ponsel masing-masing. Banyak yang memang bekerja, tetapi dengan gaji tipis, kontrak singkat, dan tanpa jaminan sosial. Angka pengangguran boleh turun, tapi angka kegelisahan soal masa depan tetap tinggi.
Ekspor disebut naik 36,96 persen, khususnya ke India, Pakistan, dan Bangladesh. Lagi-lagi angka ini terdengar menggembirakan, tetapi jika ditarik ke lapangan, banyak petani gambir, cengkeh, atau nelayan kecil yang justru mengeluh. Harga beli hasil panen mereka tetap rendah, sementara berita di televisi mengatakan ekspor melonjak. Keuntungan besar dinikmati eksportir dan pelaku menengah, bukan mereka yang bekerja di ladang atau laut.
Pariwisata pun diklaim bangkit. Wisatawan asing naik 29 persen. Hotel dan restoran memang ramai, tetapi akses menuju destinasi wisata masih penuh jalan berlubang, transportasi umum terbatas, dan tarif penginapan yang semakin mahal. Wisatawan asing mungkin datang dan menikmati pemandangan, tetapi warga lokal masih kesulitan menikmati potensi wisata karena fasilitas dasar yang belum memadai. Bahkan listrik padam di musim hujan sering menjadi cerita wajib di beberapa daerah.
Semua ini menunjukkan jurang antara angka di atas kertas dan kenyataan sehari-hari. Di atas kertas, Sumbar tampak semakin maju. Di lapangan, banyak keluarga masih kesulitan membayar uang sekolah anak, menahan napas saat harga cabai meroket, atau bingung mencari kerja layak. Maka tak heran jika masyarakat sering nyeletuk dengan satir: yang naik di Sumbar bukan cuma PDRB, tapi juga harga sembako.
Angka-angka yang dipajang pemerintah bukan berarti salah. Pertumbuhan ekonomi memang ada, kemiskinan memang berkurang di kota, wisatawan memang bertambah. Tetapi ketika angka-angka itu dijadikan satu-satunya panggung, tanpa membicarakan sisi gelapnya, maka rakyat merasa ditinggalkan. Ulang tahun ke-80 Sumbar bisa jadi momentum refleksi, bahwa pembangunan tidak cukup hanya dengan angka yang cantik di baliho.
Karena rakyat tidak hidup dari statistik. Rakyat hidup dari nasi di meja makan, cabai di dapur, listrik yang menyala, dan harapan akan masa depan yang lebih baik. Selamat ulang tahun ke-80 Sumatera Barat. Semoga bukan hanya angka yang naik, tetapi juga rasa adil dan sejahtera yang bisa benar-benar dirasakan semua orang, dari kota sampai desa. (Andre Pratama)