Brand air mineral nasional Aqua memunculkan polemik setelah video kunjungan mendadak ke salah satu fasilitas produksinya viral. Dalam video itu, Dedi Mulyadi memeriksa sumber air Aqua dan menanyakan apakah air diambil dari sungai atau mata air. Jawabannya: “dari bawah tanah”.
Momen tersebut memicu kekhawatiran publik terhadap keaslian klaim “mata air pegunungan” yang selama ini melekat pada Aqua.
Menurut rilis resmi Danone‑Aqua, air yang digunakan berasal dari 19 titik sumber pegunungan yang terlindungi di seluruh Indonesia. Perusahaan menyebut bahwa sumber air bukan dari air permukaan atau sumur dangkal melainkan dari akuifer dalam (kedalaman 60-140 meter) yang secara alamiah terlindungi.
Danone-Aqua juga menjelaskan bahwa penentuan titik sumber dilakukan melalui kajian hidrogeologi oleh perguruan tinggi seperti Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Universitas Padjadjaran (Unpad).
Soal aspek lingkungan dan penggunaan air masyarakat sekitar, perusahaan menegaskan bahwa pengambilan air dilakukan secara terkendali dan tidak berdampak pada pergeseran tanah maupun longsor. Pengawasan rutin oleh Badan Geologi Kementerian ESDM dan pemerintah daerah setempat turut diterapkan.
Meski demikian, publik tetap mengkritik bahwa perubahan klaim dari ‘mata air pegunungan’ ke ‘akuifer dalam’ perlu disosialisasikan dengan jelas agar konsumen paham dan tidak merasa dibohongi. Sebuah komentar di forum mengungkap:
“Danone mengakui sumber airnya bukan berasal dari permukaan, namun dari akuifer dalam dengan kedalaman 60-140 meter. Pantas tagline berubah dari ‘mata air pegunungan’ jadi ‘air pegunungan’.”
Khusus bagi daerah seperti Sumatera Barat, yang memiliki banyak mata air alami dan potensi geologi serupa, isu ini mengingatkan pentingnya transparansi brand terhadap sumber daya alam lokal. Bila perusahaan besar memakai akuifer dalam, maka bagaimana regulasi dan pengawasan lokal agar tidak mengganggu sumber air masyarakat?
Isu ini membuka kembali diskusi penting: bagaimana amanah perusahaan terhadap konsumen dan lingkungan dalam pengelolaan air mineral. Apakah branding sejalan dengan fakta lapangan dan apakah publik mendapatkan hak untuk mengetahui dengan jernih? Di Sumatera Barat yang kaya sumber air, kejelasan seperti ini menjadi ukuran penting bagi kepercayaan publik dan kelangsungan sumber daya lokal.































