Produsen air kemasan Aqua kini menghadapi sorotan publik setelah muncul temuan bahwa pabriknya menggunakan air dari sumur bor atau akuifer dalam — bukan dari mata air pegunungan seperti yang selama ini diklaim.
Di Sumatera Barat, di mana kepercayaan terhadap air pegunungan sangat tinggi, isu ini bisa mengguncang kepercayaan konsumen lokal terhadap air kemasan.
Berdasarkan hasil inspeksi mendadak di salah satu pabrik Aqua di Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat, ditemukan pipa pengambilan air dari sumur bor dengan kedalaman sekitar 60-102 meter.
Ketua BPKN RI, Mufti Mubarok, menyatakan bahwa laporan publik dan hasil inspeksi tersebut menyimpulkan dugaan bahwa klaim iklan Aqua — “air pegunungan yang murni dan alami” — mungkin tidak sesuai dengan fakta lapangan.
“Jika klaim di iklan berbeda dengan fakta di lapangan, maka itu termasuk pelanggaran prinsip kejujuran dalam beriklan,” ujar Mufti.
Sementara itu, perusahaan induk Aqua, Danone Indonesia, melalui pernyataannya mengatakan bahwa sumber air yang digunakan berasal dari “akuifer dalam” yang disebut berada di kedalaman 60-140 meter dan sudah melalui proses seleksi ketat.
Namun, bagi konsumen di Sumatera Barat — yang memandang sumber mata air pegunungan sebagai simbol kualitas — perbedaan istilah antara “akuifer dalam” dan “mata air pegunungan” menjadi soal kepercayaan dan transparansi.
Isu ini memunculkan sejumlah pertanyaan: apakah penggunaan air tanah dalam mengganggu keseimbangan air lokal atau lingkungan hulu? Bagaimana pengawasan pemerintah daerah terhadap izin pemanfaatan air tanah di daerah pegunungan seperti Sumbar?
Di sisi lain, BPKN RI mengimbau seluruh konsumen untuk lebih cermat dalam memilih air minum kemasan: baca label, ketahui sumber air yang dicantumkan, dan laporkan jika merasa ada ketidaksesuaian klaim.
Kasus Aqua ini bukan sekadar soal satu merek saja — tetapi soal transparansi industri air minum kemasan terhadap masyarakat yang mengandalkan klaim “air pegunungan” sebagai jaminan kualitas. Bagi kawasan seperti Sumatera Barat, di mana sumber air lokal jadi bagian dari identitas lingkungan, kejadian ini menghadirkan tantangan: memperkuat literasi konsumen dan memastikan bahwa klaim produk benar-benar dapat dipertanggungjawabkan.





























